UPACARA TRADISI TENDHAK SITEN


Upacara tedhak siten di selenggarakan pada saat ana berusia kira – kira 9 bulan. Pada waktu itu anak secara resmi turun ke tanah atau menginjak tanah. Adapun tempat upacaranya di rumah orang tua anak yang bersangkutan. Upacara seperti ini yaitu upacara yang berwujud kenduri biasanya di selenggarakan di serambi rumah, rumah bagian depan atau di pendapa, sedangkan keperluan lain yang ada rangkaiannya dengan upacara itu di selenggarakan di gandhok rumah, rumah bagian belakang.

Beberapa pihak yang terlibat dalam upacara adalah si anak tersebut dan orang tua serta kakek dan nenek. Upacara ini juga melibatkan sanak keluarga dan tetangga. Perlengkapan kenduri terdiri dari nasi tumpen, gudhangan , jenang abang putih, jenang baro – baro, jajan pasar, sega gurih, dan ingkung ayam. Kelengkapan lainnya adalah jadah 7 tetel manca warni: merah, putih, hitam, kuning, biru, merah muda, dan ungu. Ada kembang setaman di letakkan di bokor, tangga yang terbat dari tebu rejuna, pranji (kurungan ayam jantan) yang di hias dengan janur kuning. Di sediakan pula padi kapas, beras kuning, sekar telon, bokor yang berisi perhiasan gelang, kalung, dan cincin. Upacara tedhak siten di laksanakan pagi hari. Menjelang pelaksanaan, para pinisepuh berkumpul di serambi rumah (rumah bagian depan) untuk kenduri (kepungan ambeng) yang di pimpin oleh Pak Kaum selaku pembaca doa. Sesudah itu di halaman rumah di selenggarakan upacar tedhak siten lengkap dengan ubarampe, sang anak segera di bawa keluar rumah di mana upacara di selengarakan. Mula – mula sang anak di tetah agar berjalan menginjak jadah aneka warna (tujuh tetel). 

Sesudah itu, di tetah memanjat tangga tebu, mulai dari anak tangga yang paling bawah sampai anak tangga yang paling atas. Begitu sampai di atas, lalu di turunkan lagi, seterusnya sang anak di masukkan ke dalam kurungan ayam jantan yang di dalamnya di taruh bokor – bokor yang berisi barang perhiasan agar sang anak bisa bermain dengan puas. Begitu usai bermain – main , anak di keluarkan dari kurungan ayam , lalu di mandikan dengan air dari dalam bokor yang telah di campur dengan kembang setaman. Tahap berikutnya, tubuh anak tersebut di keringkan dan di beri pakaian yang bagus Usai upacara tersebut, bokor yang berisi beras kuning dan beberapa uang logam beserta seluruh isinya di sebar di halaman. Ada beberapa pantangan yang harus di hindari, misalnya saja wanita yang menyusui bayinya tidak boleh makan yang serba daging agar tidak cepat datang bulan (menstruasi) lagi. Sesungguhnya ini secara implisit merupakan langkah antisipatif terhadap proses terjadinya kehamilan. Larangan lainnya berlaku untuk bayi yang masih lembut jangan di bawa berpergian.



Beberapa perlengkapan yang di siapkan di dalam upacara tedhak siten mengandung lambang atau makna khusus. Jadah manca warni melambangkan dunia atau lingkungan hidup yang beraneka warna yang mau tidak mau kelak akan di tempuh sang anak. Kurungan ayam merupakan simbol bahwa dunia (alam) dimana kita hidup mengenal batas – batas. Manakala kita keluar dari rambu – rambu tersebut niscaya akan tertimpa bencana. Kurungan ayam juga di maksudkan untuk menghalangi ancaman bencana gaib yng mungkin akan mendera kehidupan sang anak. Tangga yang terbuat dari tebu mengandung makna keteguhan hati (tekad) untuk menjalani jenjang kehidupan hingga mencapai taraf keluhuran derajad maupun budi. Tebu bermakan keteguhan hati. Tebu berasal dari kata antebing kalbu, yakni keteguhan hati. Tebu Arjuna (rejuna) menyiratkan agar dalam menjalani jenjang kehidupan, sang anak senantiasa bersikap manis, mengalami nasib yang baik, dan serba menyenangkan.

sumber