CANDI LUMBUNG - SURAKARTA

CANDI LUMBUNG - SURAKARTA

Candi Lumbung terletak beberapa ratus meter di sebelah Selatan Candi Sewu. Candi ini sudah masuk dalam wilayah Kabupaten Klaten, Surakarta. Tidak jelas apakah nama Lumbung memang merupakan nama  candi ini atau nama itu hanya merupakan sebutan masyarakat di sekitarnya karena bentuknya yang mirip lumbung (bangunan tempat penyimpanan padi). Bangunan suci Buddha ini merupakan gugus candi yang terdiri atas 17 bangunan, yaitu satu candi utama yang terletak di pusat, dikelilingi oleh 16 candi perwara. Halaman komples Candi Lumbung ini ditutup hamparan batu andesit.


Candi utama, yang sendiri saat ini sudah tinggal reruntuhan, berbentuk poligon bersisi 20 dengan denah dasar seluas 350 m2. Tubuh candi berdiri di atas batur setinggi sekitar 2,5 m. Tangga dan pintu masuk terletak di sisi timur. Pintu masuk dilengkapi bilik penampil dan lorong menuju ruang dalam tubuh candi. Bagian luar dinding di keempat sisi dihiasi pahatan-pahatan gambar lelaki dan perempuan dalam ukuran yang hampir sama dengan kenyataan. Gambar pada dinding yang mengapit pintu masuk adalah Kuwera dan Hariti.

Pada dinding luar di sisi utara, barat dan selatan terdapat relung tempat meletakkan arca Dhyani Buddha. Jumlah relung pada masing-masing sisi adalah 3 buah, sehingga jumlah keseluruhan adalah 9 buah, Saat ini tak satupun relung yang berisi arca. Atap candi utama sudah hancur, namun diperkirakan berbentuk stupa dengan ujung runcing, mirip atap candi perwara. Di sekeliling halaman candi utama terdapat pagar yang saat ini tinggal reruntuhan. 
Candi perwara yang berjumlah 16 buah berbaris mengelilingi candi utama. Seluruh candi perwara menghadap ke arah candi utama. Masing-masing candi perwara berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 m dengan denah dasar sekitar 3 m2. Dinding tubuh candi polos tanpa hiasan. Di sisi timur, tepat di depan pintu, terdapat tangga yang dilengkapi dengan pipi tangga. Di atas ambang pintu terdapat Kalamakara tanpa rahang bawah.

Atap candi perwara berbentuk kubus bersusun dengan puncak stupa. Setiap sudut kubus dihiasi dengan stupa kecil. Di ruang dalam tubuh candi perwara terdapat batu mirip tatakan arca yang disusun berjajar.
7 TRADISI SAMBUT RAMADHAN DI INDONESIA

7 TRADISI SAMBUT RAMADHAN DI INDONESIA


Indonesia adalah sebuah negeri yang kaya akan berbagai macam tradisi dan budaya. Keragaman tersebut telah termasyhur cukup lama, baik di kalangan masyarakat Indonesia sendiri maupun di dunia internasional. Keragaman budaya dan tradisi tersebut terus-menerus mewarnai berbagai perkembangan yang terjadi di dalam negeri yang juga terkenal dengan keanekaragaman hayatinya.

Seperti yang telah kita ketahui juga, Indonesia adalah salah satu negeri di mana mayoritas dari masyarakatnya adalah penganut agama Islam. Berangkat dari fakta tersebut, tentulah Bulan Ramadhan menjadi sebuah peristiwa penting di dalam negeri ini. Telah banyak gelaran tradisi untuk menyambut Bulan Ramadhan di berbagai daerah dan pelosok-pelosok daerah.

Namun ada satu fakta yang mungkin saja tidak ketahui sebelumnya, yaitu adanya perayaan-perayaan khusus demi menyambut bulan suci bagi umat Islam. Perayaan tersebut tentulah berbeda-beda, namun tetap membawa sebuah semangat yang sama, yakni merupakan bentuk ucap syukur serta kegembiraan umat muslim akan datangnya bulan puasa.

Dalam kalender Islam, bulan Ramadhan akan diawali dengan datangnya bulan Sya’ban. Di bulan inilah biasanya banyak digelar upacara tradisi menyambut datangnya bulan Ramadhan oleh masyarakat setempat.

Berikut adalah beberapa tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan di beberapa daerah di Indonesia.

Dugderan


Tradisi “Dugderan” ini berasal dari kota Semarang, Jawa Tengah. Nama “Dugderan” sendiri berasal dari kata “Dug” dan “Der”. Kata Dug diambil dari suara dari bedug masjid yang ditabuh berkali-kali sebagai tanda datangnya awal bulan Ramadhan. Sedangkan kata “Der” sendiri berasal dari suara dentuman meriam yang disulutkan bersamaan dengan tabuhan bedug.

Tradisi yang sudah berumur ratusan tahun ini terus bertahan ditengah perkembangan jaman. biasanya digelar kira-kira 1-2 minggu sebelum puasa dimulai. Karena sudah berlangsung lama, tradisi Dugderan ini pun sudah menjadi semacam pesta rakyat. Meski sudah jadi semacam pesta rakyat -berupa tari japin, arak-arakan (karnaval) hingga tabuh bedug oleh Walikota Semarang- tetapi proses ritual (pengumuman awal puasa) tetap menjadi puncak acara Dugderan.

Untuk tetap mempertahankan suasana seperti pada jamannya, dentuman meriam kini biasanya diganti dengan suara-suara petasan atau bleduran. Bleduran sendiri adalah sebuah bongkahan batang pohon yang dilubangi bagian tengahnya, untuk menghasilkan suara seperti meriam biasanya diberi karbit yang kemudian disulut api.

Padusan

Masyarakat di Klaten, Boyolali, Salatiga dan Yogyakarta biasa melakukan upacara berendam atau mandi di sumur-sumur atau sumber mata air di tempat-tempat kramat. Tradisi ini disebut “Padusa” yang bermakna agar jiwa dan raga seseorang yang akan melakukan ibadah puasa bersih secara lahir dan batin.

Selain itu juga bermakna sebagai pembersihan diri atas segala kesalahan dan perbuatan dosa yang telah dilakukan sebelumnya.

Meugang

Berbeda dengan daerah lainnya, di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) atau yang akrab disebut dengan kota “Serambi Mekah”, sambutan akan datangnya bulan suci Ramadhan dirayakan dengan menyembelih kambing atau kerbau. Tradisi ini disebut “Meugang”, konon kabarnya tradisi “Meugang” sudah ada sejak tahun 1400 Masehi, atau sejak jaman raja-raja Aceh.

Tradisi makan daging kerbau atau kambing ini biasa dilakukan oleh seluruh warga Aceh. Bahkan jika ada warga yang tidak mampu membeli daging untuk dimakan, semua warga akan bergotong-royong membantu, agar semua warganya dapat menikmati daging kambing atau kerbau sebelum datangnya bulan Ramadhan.

Tradisi “Meugang” biasanya juga dilakukan saat hari raya Lebaran dan Hari Raya Haji.

Jalur pacu

Di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau, masyarakatnya memiliki tradisi yang mirip dengan lomba dayung. Tradisi “Jalur Pacu” ini digelar di sungai-sungai di Riau dengan menggunakan perahu tradisional, seluruh masyarakat akan tumpah ruah jadi satu menyambut acara tersebut.

Tradisi yang hanya digelar setahun sekali ini akan ditutup dengan “Balimau Kasai” atau bersuci menjelang matahari terbenam hingga malam.

Balimau

Tradisi Balimau hampir sama dengan tradisi padusa, yakni membersihkan diri dengan cara berendam atau mandi bersama-sama di sungai atau tempat pemandian.

Tradisi Balimau dilakukan oleh masyarakat Padang, Sumatera Barat. Biasanya tradisi ini dilakukan dari mulai matahari terbit hingga terbenam beberapa hari sebelum bulan Ramadhan.

Mirip dengan “Padusa”, makna dari tradisi Balimau ini berarti melakukan pembersihan diri secara lahir dan batin, agar seseorang siap menjalankan ibadah puasa.

Nyorog

Di Betawi, tradisi “Nyorog” atau membagi-bagikan bingkisan makanan kepada anggota keluarga yang lebih tua, seperti bapak/ibu, mertua, paman, kakek/nenek, menjadi sebuah kebiasan yang sejak lama dilakukan sebelum datangnya bulan Ramadhan. Meski istilah “Nyorog” sudah mulai menghilang, namun kebiasan mengirim bingkisan sampai sekarang masih ada di dalam masyarakat Betawi. Bingkisan tersebut biasanya berisi bahan makanan mentah, ada juga yang berisi daging kerbau, ikan bandeng, kopi, susu, gula, sirup, dan lainnya.

Tradisi “Nyorog” di masyarakat Betawi memiliki makna sebagai tanda saling mengingatkan, bahwa bulan suci Ramadhan akan segera datang, selain itu tradisi “Nyorog” juga sebagai pengikat tali silahturahmi sesama sanak keluarga.

Munggahan


Munggahan adalah satu kegiatan berkumpul bagi anggota keluarga, sahabat dan bahkan juga teman-teman kita saling bermaaf-maafan sambil menikmati sajian makanan khas untuk kemudian mempersiapkan diri masing-masing dalam menghadapi bulan Ramadhan yang akan datang.

Tradisi ini adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang Sunda dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Biasanya tradisi ini dilakukan oleh hampir semua golongan masyarakat walaupun dengan cara yang berbeda-beda.

Tetapi intinya tetap satu, yaitu berkumpul bersama sambil menikmati sajian makanan yang disuguhkan.

Sumber : http://www.oktomagazine.com/arsip/3860/7.tradisi.sambut.ramadhan.di.indonesia

TEATER DUL MULUK - SUMATERA SELATAN

Dul Muluk merupakan salah satu seni tradisional di Sumatera Selatan. Teater Abdul Muluk pertama kali terinspirasi dari seorang pedagang keturunan arab yang bernama Wan Bakar. Dia datang ke Palembang pada abad ke-20 lalu menggelar pembacaan kisah petualangan Abdul Muluk Jauhari, anak Sultan Abdul Hamid Syah yang bertakhta di negeri Berbari di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara itu menarik minat masyarakat sehingga datang berkerumun.





Sejak itu Wan Bakar sering diundang untuk membacakan kisah-kisah tentang Abdul Muluk pada berbagai perhelatan, seperti acara perkawinan, khitanan atau syukuran saat pertama mencukur rambut bayi.

Bersama murid-muridnya, antara lain Kamaludin dan Pasirah Nuhasan, Wan Bakar lalu memasukkan unsur musik gambus dan terbangan (sejenis musik rebana) sebagai pengiring. Bentuk pertunjukan pun diperkaya. Jika semula Wan Bakar menjadi wakil semua tokoh, kemudian para muridnya dilibatkan membaca sesuai tokoh perannya.

Pada tahun 1919, tercatat pertama kali pembacaan teks dibawakan dalam bentuk dialog disertai gerak tubuh sesuai peran masing-masing. Pertunjukan pun sudah di lapangan terbuka. Dalam perkembangan berikutnya, pelaku peran dilengkapi kostum khusus, sudah merias diri, dan menggunakan properti pertunjukan seadanya. Perangkat musik pun ditambah biola, gendang, tetawak (gong), dan jidur alias gendang ukuran besar.

Pertunjukan Dulmuluk sempat berada di puncak kejayaannya pada era 1960-an dan 1970-an. Ketika itu ada puluhan grup teater tradisi Dulmuluk. Dibeberapa tempat teater tradisi ini dikenal juga sebagai pertunjukan Johori. Istilah Johori berasal dari nama belakang tokoh utamanya, yang bernama lengkap Abdul Muluk Jauhari.

Sejarah dan Latar Belakang Dul Muluk
Teater Dul Muluk adalah teater daerah Sumatera Selatan yang lahir dan diciptakan dikotamadya Palembang, terbentuknya teater ini melalui tahapan yang panjang yang dimulai dari proses yang paling awal sejak pembacaan syair atau tutur, hingga menjadi teater utuh seperti sekarang ini. kata Dul Muluk sendiri berasal dari nama pemeran utamanya yang bernama Raja Abdulmuluk Jauhari. kesenian ini dibawa oleh seorang pedagang keliling yang masih mempunyai darah keturunan Arab yang bernama Wan Bakar ke Kota Palembang dengan sistem perdagangan. dulunya pada 1954 Wan Bakar bertempat tinggal di kampung tangga takat (16 ulu) Palembang.

Pria yang mempunyai nama lengkap Shecj Ahmad Bakar ini sering sekali melakukan perjalanan berdagang ke Singapura, Negeri Johor Malaysia, Kepulauan Riau, dan Pulau Bangka. Ia menyebarkan syair Dul Muluk dari mulut ke mulut menceritakannya kepada satu persatu masyarakat atau para sahabatnya yang datang dan bertamu ke rumahnya. Sedangkan dagangan yang ia jual yaitu rempah-rempah dan hasil hutan untuk di jual di kepulauan Riau, Singapura dan Malaysia, dan kemudian dari Singapura dan Malaysia Ia membawa barangdagangan berupa tekstil, keramik, dan barang-barang antik untuk dijual di Kepulauan Riau, Bangka, dan Palembang.

Selain ia membawa barang dagangan, ia juga membawa kitab-kitab bacaan yang berisikan hikayat baik dalam bentuk syair maupun cerita biasa untuk keperluan sendiri. Dan di antara kitab yang ia bawa terdapat kitab syair Abdulmuluk yang di bawa dari Singapura dalam tuliasan huruf Melayu atau yang sering di sebut tulisan Arab gundul, sedangakan syair Abdulmuluk ini sendiri di karang oleh seorang wanita yang bernama Saleha yaitu adik perempuan dari Raja Ali Haji Ibn Raja Achmad Ibn yang di pertuan muda Raja Haji FiSabilillah yang bertahta di Negeri Riau Pulau Penyengat Indra sakti pada abad ke19.

Ternyata kisah Raja Abdulmuluk ini berangsur-angsur tersebar keseluruh penjuru Kota Palembang dan sangat di gemari oleh masyarakat, karena ketertarikan tersebut maka akhirnya seluruh masyarakat yang yang mengemari Dul Muluk berkumpul dan membuat persatuan pecinta Dul Muluk. Semakin hari jumlah anggota persatuan ini semakin bertambah dan akhirnya tersebar ke seluruh Sumatera bahkan ke Eropa.

Berangsur-angsur waktu berjalan akhirnya tercetuslah ide dari para pencinta Syair Dul Muluk untuk menjadikan syair tersebut suatu pertunjukan atau pagelaran, Dan akhirnya pagelaran pertama kali Dul Muluk pun terlaksana pada 1910 hingga tahun 1930 adalah bentuk teater Dul Muluk yang masih asli, karena setelah tahun 1930 masuklah sandiwara dan bangsawan dari Jawa maka sedikit berpengaruh pada pertumbuhan Teater Dul Muluk di Palembang, Dan akhirnya setelah tahun 1942 Dul Muluk dimanfaatkan untuk propaganda pemerintah dan disuruh memakai pentas atau panggung.

Maka pada waktu itu teater Dul Muluk sangat digemari masyarakat. hampir setiap kenduri selalu dimeriahkan dengan pagelaran teater Dul Muluk yang diadakan pada malam hari menjelang atau setelah hari persedekahan, pagelaran diadakan semalam suntuk mulai dari pukul 20.30 hingga pukul 04.00 pagi hari nya.

Sumber : http://lemabang.wordpress.com/2012/12/19/teater-dul-muluk/