Pembangunan Tugu Lilin merupakan monumen sebagai tanda bahwa organisasi Boedi Oetomo (BO) telah memasuki umur 25 tahun. Niat pendirian monumen ini dicetuskan oleh perwakilan masyarakat Surakarta (Solo) saat mengikuti Konggres Indonesia Raya I pada tahun 1931 di Surabaya. Sedang pelaksanaan pembangunan dipercayakan kepada KRT Woerjaningrat, menantu Paku Buwono (PB) X. Selain seorang priyayi asli Solo, beliau memang sebagai Wakil Ketua BO.
Mendirikan monumen pada zaman sekarang mungkin hal lumrah, namun pada tahun 1930-an, hal itu bisa menimbulkan perseteruan antara masyarakat dengan pemerintah Belanda. Apalagi ketika Dalem Woerjaningratan sering dipakai untuk rapat pergerakan, Belanda lalu meningkatkan patrolinya.
Rencana pembangunan monumen sudah matang, namun nyatanya setelah mengurus perizinan dipersulit. Wajar, yang namanya monumen mestinya diletakkan di lokasi jalan protokol atau jalan raya jurusan antar kota biar telihat mudah oleh masyarakat. Namun, kenyataannya Belanda ngotot tidak memberikan izin. Awalnya ada tiga lokasi yang bakal menjadi lahan berdirinya monumen, yaitu: Purwosari (jalan keluar dari Kota Solo menuju arah barat), atau di Panggung (jalan keluar dari Kota Solo ke arah timur) , atau di tengah kota (Ngapeman). Kesemuanya tidak mendapatkan izin dari Belanda. Boleh membangun monumen tapi tempatnya harus “tersembunyi”.
Akhirnya, KRT Woerjaningrat menghadap PB X perihal mendirikan monumen di halaman Netrale Schakel School, milik Neutrale School Vereneging (sekarang Yayasan Murni). Syukur, Sri Sunan PB X tidak keberatan, monumen dibangun tanah milik kraton yang terletak di Penumping.
Monumen tadi berwujud tugu berbentuk patung lilin. Maka hingga sekarang disebut Tugu Lilin. Hal ini sesuai dengan perjuangan bangsa Indonesia yang dilambangkan dengan lilin, ketika sengsara dan menderita berjanji bisa menerangi rakyat.
Akhirnya, monumen yang dirancang oleh Ir. Danoenegoro, berdiri dengan tegaknya. Kendati demikian, proses pembangunannya tetap dipersulit oleh pihak Belanda. Umpanya, hanya mengenai tulisan di pondasi tugu menjadi masalah. Panitia awalnya mempunyai rancangan tulisan: Tugu Peringatan Pergerakan Bangsa Indonesia 25 Tahun, Pemerintah Belanda tidak setuju, dan menghendaki diganti seperti ini: Tugu Kemajuan Rakyat 25 Tahun. Pasti saja, tokoh-tokoh pergerakan tidak setuju karena maknanya menjadi tidak sesuai dengan cita-cita yang dituju, sebab makna tulisan tadi menjadi kerdil, khawatirnya hanya diartikan sebagai peringatannya rakyat Surakarta saja. Paling tidak, harus ada kata-kata “Indonesia”. Akhirnya, bisa diambil jalan tengah, yaitu: “Tugu Peringatan Kemajuan Rakyat Indonesia 25 Tahun.”
Meski bunyinya semboyan di tugu tadi sudah menjadi keputusan, namun demikian para tokoh pergerakan nasional masih memiliki ganjalan, belum puas. Setelah Indonesia merdeka, ketika memperingati 40 tahunnya BO, 20 Mei 1948 tulisan di pondasi tugu tadi dihapus dan diganti: “Tugu Peringatan Kebangunan Nasional.”
Berdirinya Tugu Lilin kala itu, selain menggunakan ilmu lahir, sebagai orang Jawa juga tidak meninggalkan ilmu kebatinan. Hal itu bisa disaksikan adanya bahan bangunan yang berwujud bata, yang diambil dari petilasan bangunan Kraton Kartasura, Kraton Pajang dan Kraton Kasunanan. Hal ini menandakan perlambang bahwa pihak kraton sejatinya juga mendukung adanya organisasi pergerakan nasional tadi. Juga sebagai alat propaganda terhadap rakyat agar segan lagi, membantu, karena biasanya apa yang dilakukan oleh kraton, rakyat bakal berpartisipasi.
Sumber :
http://kekunaan.blogspot.com/2012/08/tugu-lilin.html
JAYA BAYA edisi 23 Mei 1993 hal. 33