Permainan Tradisional Kucing-Kucingan


KUCING-KUCINGAN (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-37)


Kucing-kucingan, adalah satu satu jenis permainan tradisional masyarakat Jawa yang juga sudah lama dikenal, setidaknya pada tahun 1913 (menurut sebuah sumber pustaka Serat Karya Saraja). Permainan ini menyebar di berbagai daerah di Jawa, meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI. Yogyakarta. Dolanan ini juga sering disebut dolanan Kus-Kusan atau Alih Lintang. Kenapa lebih dikenal dengan nama dolanan kucing-kucingan? Pada prinsipnya, pada dolanan ini ada sebuah syair yang sering dilantunkan berirama secara bersama-sama oleh semua pemain, yang bunyinya” Dha mbuwang kucing gering”. Selain itu, dalam dolanan ini juga banyak dijumpai anak-anak berlari-lari dalam permainannya. Itulah sebabnya, masyarakat Jawa menamai dolanan ini dengan dolanan kucing-kucingan. Ada kalanya, dolanan lain yang agak berbeda, di daerah lain juga kadang menamai sebuah dolanan itu dengan nama kucing-kucingan.

Dolanan kucing-kucingan yang dimaksud di sini adalah sebuah permainan anak yang melibatkan 5 pemain (bisa laki-laki semua atau perempuan semua). Umumnya yang bermain dolanan kucing-kucingan adalah anak laki-laki, karena membutuhkan kekuatan fisik untuk berlari. Sementara alat yang digunakan untuk dolanan ini, hanya membutuhkan halaman yang luas, bisa halaman rumah, halaman kebun, atau lapangan. Di halaman inilah, anak-anak mulai membuat garis silang tegak lurus dengan panjang garis masing-masing sekitar 2,5 meter. Kemudian, keempat ujung garis dibuat lingkaran kecil dengan kaki yang melingkar. Sementara tengah garis, nantinya dipakai untuk pemain dadi. 



Seperti jenis dolanan lainnya, dolanan kucing-kucingan pun juga dimainkan pada waktu-waktu luang, baik saat liburan atau sehabis membantu orang tua. Biasanya yang bermain dolanan ini adalah anak-anak yang berumur 8-12 tahun dari semua golongan masyarakat tanpa membedakan status sosial.


Misalkan ada lima pemain yakni A, B, C, D, dan E hendak bermain kucing-kucingan. Lalu mereka menuju ke halaman tempat bermain. Setelah itu, salah satu anak membuat garis silang tegak lurus dengan panjang masing-masing garis 2,5 meter. Setelah selesai, ujung-ujung garis dibuat lingkaran kecil dengan memakai tumit kaki yang dibuat melingkar. Kemudian para pemain melakukan hompimpah dan sut. Anak yang paling kalah, misalkan pemain E, maka ia dianggap sebagai pemain dadi.
Pemain dadi tempatnya di tengah-tengah garis silang. Sementara itu pemain mentas lainnya, yakni pemain A, B, C, dan D, menempati masing-masing lingkaran kecil di ujung garis. Pemain mentas berhak saling berpindah tempat dengan temannya. Misalkan pemain A, bisa berganti tempat dengan pemain B atau C. Begitu pula pemain lainnya, bisa saling berganti tempat dengan pemain di sebalah kiri atau kanannya. Biasanya perpindahan tempat ini menunggu pemain dadi terlena. Apabila mereka hendak berpindah tempat, maka caranya dengan melangkahkan satu kaki dilangkahkan ke luar dan tangan saling berjabat tangan. Setelah itu mereka saling berpindah tempat. Tetapi, kadang-kadang saat mereka berpindah tempat dan belum sempat menempati tempat baru sudah kepergok pemain dadi, sehingga pemain dadi segera menempati tempat lingkaran yang masih kosong. Jika seperti itu, maka pemain mentas yang tidak mendapatkan tempat baru, maka berubah menjadi pemain dadi. Misalkan, pemain A dan B sedang saling berpindah, tetapi belum sempat menempati lingkaran baru, pemain B didahului pemain E, maka pemain B yang kemudian harus menjadi pemain dadi.



Jika pada tahap selanjutnya, saat pemain B menjadi pemain dadi dikungkung hingga 5 kali perpindahan antar pemain mentas, maka ia menjadi pemain dadi yang berhak dibuang. Caranya, ia dipegang bersama-sama oleh semua pemain mentas ke sebuah tempat (misalkan berjarak 20 meter dari tempat permainan). Saat dibuang, semua pemain mentas menyanyikan sebuah syair yang terdiri dari sebuah kalimat, yakni “Dha mbuwang kucing gering”. Syair itu dinyanyikan berulang kali hingga si pemain dadi sampai di tempat tujuan pembuangan. Setelah itu, dari tempat pembuangan ini, mereka berlomba-lomba berlari secepat-cepatnya untuk mencari lingkaran yang masih kosong. Bagi pemain yang tidak mendapatkan tempat kosong, berarti menjadi pemain dadi dan harus menempati tempat di tengah. Begitu seterusnya permainan ini berlangsung hingga mereka merasa bosan dan hendak berhenti atau bermain dolanan lainnya.



Dolanan kucing-kucingan mengajarkan kepada anak untuk bermain secara sportif. Jika mereka menjadi pemain dadi, juga harus berani menghadapinya, dan tidak boleh cengeng. Sebab jika tidak sportif, tentu akan ditinggal oleh teman bermain lainnya. Selain itu, dolanan ini juga menuntut ke para pemainnya untuk cekatan berlari. Anak yang tidak cepat berlari tentu akan selalu menjadi pemain dadi. Tetapi kadang juga ditemui anak yang justru suka menjadi pemain dadi. Anak seperti itu kadang kebal terhadap ejekan teman lainnya. Jika hal itu terjadi, permainan akan tambah seru.


Sayangnya, jenis dolanan kucing-kucingan ini juga sudah sangat jarang dimainkan oleh anak-anak zaman sekarang.

SuwandiSumber: Permainan Tradisional Jawa, Sukirman Dharmamulya, dkk, 2004, Yogyakarta: Kepel Press


Sumber