Mereka percaya juga bahwa benda-benda seperti pohon besar, batu besar, gunung dan sebagainya dihuni oleh roh-roh. Ada kalanya benda-benda atau senjata-senjata juga dianggap bertuah dan sakti sehingga dijadikan jimat oleh pemiliknya. Upacara pemujaan roh leluhur harus diatur sebaik-baiknya, agar restu mudah diperoleh. Pertunjukan wayang erat hubungannya dengan upacara tersebut. Kepercayaan kepada Hyang masih dapat kita lihat sampai saat ini.
2. JAMAN SRIWIJAYA
Kerajaan Sriwijaya bukan saja termasyur karena kekuatan angkatan perangnya, melainkan juga karena merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Buddhis. Di sana terdapat banyak vihara dan dihuni oleh ribuan Bhikkhu. Di Perguruan Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya, selain kuliah-kuliah tentang Agama Buddha, orang dapat mengikuti juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Pujangga-pujangga Agama Buddha terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan Tinggi tersebut. Pada waktu itu Sriwijaya merupakan mercusuar Agama Buddha di Asia Tenggara. Sriwijaya memancarkan cahaya budaya manusia yang cemerlang.
Tentang Agama Buddha di Sriwijaya juga banyak diberitakan oleh Sarjana Agama Buddha dari Tiongkok yang bernama Itsing. Tahun 672 ia berangkat berziarah ke tempat-tempat suci Agama Buddha di India. Dalam perjalanan pulang sekitar tahun 685, ia singgah di Kerajaan Sriwijaya. Ia tinggal di sana selama 10 tahun untuk mempelajari dan menerjemahkan buku-buku suci Agama Buddha dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa Cina.
Kerajaan Sriwijaya yang didirikan pada ? abad ke-7 dapat bertahan terus hingga tahun 1377.
3. JAMAN SAILENDRA DI MATARAM
Sekitar tahun 775 sampai dengan 850 di daerah Bagelan dan Yogyakarta berkuasalah raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk Agama Buddha. Inilah jaman keemasan bagi Mataram dan negara di bawah pemerintahannya karena keadaan saat itu aman dan makmur.
Ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan tentang Agama Buddha, sangatlah maju. Kesenian – terutama seni pahat, mencapai taraf yang sangat tinggi. Pada waktu itu seniman-seniman Bangsa Indonesia telah menghasilkan karya seni yang mengagumkan, misalnya Candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan, dan Sewu.
Selain candi-candi tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi candi-candi yang didirikan atas perintah raja-raja Sailendra. Tetapi yang paling besar dan paling indah adalah Candi Borobudur. Setelah Raja Samarottungga meninggal dunia, Mataram kembali diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namun Agama Buddha dan Agama Hindu dapat berkembang terus berdampingan dengan rukun dan damai.
4. JAMAN MAJAPAHIT
Di bawah raja-raja Majapahit (tahun 1292 sampai dengan tahun 1478) yang menganut Agama Hindu, Agama Buddha masih dapat berkembang dengan baik. Toleransi dalam bidang keagamaan dijaga baik-baik, sehingga pertentangan antar agama tak pernah terjadi.
Pada waktu pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang pujangga terkenal, Mpu Tantular, menulis sebuah buku yang berjudul “Sutasoma”, di mana di dalamnya terdapat kalimat Ciwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tanhang Dharma Mandrawa. Dari kata-kata inilah kemudian diambil semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang kini dijadikan lambang Negara Republik Indonesia yang melambangkan motto toleransi dan persatuan.
Setelah Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh Agama Islam.
5. JAMAN ABAD KE-20
Agama Buddha mulai bangkit kembali di Pulau Jawa ditandai dengan datangnya Y.M. Bhikkhu Narada Thera dari Sri Lanka (Ceylon) pada bulan Maret 1934. Selama berada di Pulau Jawa, Y.M. Bhikkhu Narada telah melakukan sejumlah kegiatan. Antara lain sebagai berikut:
* Memberikan khotbah-khotbah dan pelajaran-pelajaran Buddha Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
* Memberkahi penanaman Pohon Bodhi di pelataran Candi Borobudur pada 10 Maret 1934.
* Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan Agama Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
* Menjalin kerja sama yang erat dengan Bhikshu-Bhikshu (hweshio-hweshio) dari klenteng-klenteng Kim Tek Ie, Klenteng Toeng San Tong di Jakarta, Klenteng Hok Tek Bio di Bogor, Klenteng Kwan Im Tong di Bandung, Klenteng Tin Kok Sih di Solo, dan perhimpunan-perhimpunan Theosofie di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
* Melantik upasaka dan upasika di tempat-tempat yang dikunjungi.
* Memberkahi penanaman Pohon Bodhi di pelataran Candi Borobudur pada 10 Maret 1934.
* Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan Agama Buddha yang pertama) di Bogor dan Jakarta.
* Menjalin kerja sama yang erat dengan Bhikshu-Bhikshu (hweshio-hweshio) dari klenteng-klenteng Kim Tek Ie, Klenteng Toeng San Tong di Jakarta, Klenteng Hok Tek Bio di Bogor, Klenteng Kwan Im Tong di Bandung, Klenteng Tin Kok Sih di Solo, dan perhimpunan-perhimpunan Theosofie di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
* Melantik upasaka dan upasika di tempat-tempat yang dikunjungi.
Nama-nama dari para perintis bangkitnya kembali Agama Buddha di Pulau Jawa pada waktu itu adalah antara lain:
1. Pandita Josias van Dienst, Deputy Director General Buddhist Mission, Java Section (Headquarter-nya berada di Thaton, Birma) dan
2. Kwee Tek Hoay, Direktur dan Redaktur Kepala dari Majalah Moestika Dharma, Jakarta.
2. Kwee Tek Hoay, Direktur dan Redaktur Kepala dari Majalah Moestika Dharma, Jakarta.
Tahun 1938 berdirilah Sam Kauw Hwee di beberapa tempat di Indonesia. Pada tahun 1952 Sam Kauw Hwee-Sam Kauw Hwee tersebut bergabung menjadi Gabungan Sam Kauw Indonesia (GSKI), kemudian mengganti nama menjadi Gabungan Tri Dharma Indonesia.
Pada tahun 1953 The Boan An dari Bogor ditahbiskan menjadi Bhikkhu Therav?da di Birma oleh Ven. Mahasi Sayadaw dan diberi nama Ashin Jinarakkhita. Sekitar tahun 1955-1956 berdiri Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI).
Tanggal 3 Mei 1958 dibentuk Perhimpunan Buddhis Indonesia (disingkat PERBUDI) yang berkedudukan di Semarang. Tetapi sejak tahun 1965 dipindahkan ke Jakarta. Tahun 1970 PERBUDI menjadi PERBUDDHI sebagai gabungan dari PERBUDI, PUUI (Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia), GPBI (Gerakan Pemuda Buddhis Indonesia), dan Wanita Buddhis Indonesia.
Pada tahun 1959 Y.M. Narada Mahathera kembali datang ke Indonesia disertai 12 orang Bhikkhu senior dari beberapa negara, yaitu:
1. H.E. Somdach Choun Nath Mahathera dari Kamboja.
2. Ven. Ung Mean Chanavanno Mahathera dari Kamboja.
3. Ven. Agga Maha Pandita Mahasi Sayadaw dari Birma.
4. Ven. Narada Mahathera dari Sri Lanka.
5. Ven. Tudawe Arivawangsa Nayaka Thera dari Sri Lanka.
6. Ven. Piyadasi Mahathera dari Sri Lanka.
7. Ven. Walane Satthisara Mahathera dari Sri Lanka.
8. Ven. Kamburugamuwe Mahanama Mahathera dari Sri Lanka.
9. Ven. Ransegoda Sarapala Thera dari Sri Lanka.
10. Ven. Phra Visal Samanagun dari Thailand.
11. Ven. Phra Sumreng Arnuntho Thera dari Thailand.
12. Ven. Phra Kru Champirat Threra dari Thailand.
13. Ven. Phra Kaveevorayan dari Thailand.
2. Ven. Ung Mean Chanavanno Mahathera dari Kamboja.
3. Ven. Agga Maha Pandita Mahasi Sayadaw dari Birma.
4. Ven. Narada Mahathera dari Sri Lanka.
5. Ven. Tudawe Arivawangsa Nayaka Thera dari Sri Lanka.
6. Ven. Piyadasi Mahathera dari Sri Lanka.
7. Ven. Walane Satthisara Mahathera dari Sri Lanka.
8. Ven. Kamburugamuwe Mahanama Mahathera dari Sri Lanka.
9. Ven. Ransegoda Sarapala Thera dari Sri Lanka.
10. Ven. Phra Visal Samanagun dari Thailand.
11. Ven. Phra Sumreng Arnuntho Thera dari Thailand.
12. Ven. Phra Kru Champirat Threra dari Thailand.
13. Ven. Phra Kaveevorayan dari Thailand.
Tanggal 21 Mei 1959, Ong Tiang Biauw (dari Tangerang) ditahbiskan menjadi Bhikkhu di “International Sima” di Kassap, Semarang oleh H.E. Somdach Choun Nath Mahathera dari Kamboja dengan nama Jinaputta. Pada hari yang sama I Ktut Tangkas (dari Mengwi, Bali) ditahbiskan menjadi Samanera Jinapiya dan Sontomihardjo (dari Kutoarjo) menjadi Samanera Jinananda. Tanggal 3 Juni 1959 di Pura Besakih, Samanera Jinapiya ditahbiskan menjadi bhikkhu (pada tanggal 12-2-1976 sempat lepas jubah) oleh Ven. Narada Mahathera. Tanggal 26 Juli 1988 ia ditahbiskan kembali di Wat Bovoranives, Bangkok dan diberi nama Thitaketuko.
Antara 1963 sampai dengan 1965 terdapat perbedaan pendapat dan pandangan di kalangan pimpinan umat Buddha, sehingga di sana-sini didirikan organisasi-organisasi Buddhis baru yang dalam prakteknya satu dengan yang lain saling menjatuhkan.
Pada 15 November 1966, Samanera Jinagiri (dari Banjar, Singaraja Bali) ditahbiskan menjadi Bhikkhu di Wat Benchamabophit, Bangkok oleh Ven. Chau Kun Dhammakittisophon dan diganti namanya menjadi Girirakkhito. Pada kesempatan yang sama juga ditahbiskan Samanera Jinaratana menjadi bhikkhu. (Pada tanggal 18 Desember 1976 ikut menyusul rekannya Bhikkhu Jinapiya untuk lepas jubah, dan kembali menjadi umat Buddha biasa). Selanjutnya pada tahun 1967 Soenaryo (dari Solo) ditahbiskan manjadi Bhikkhu di Sri Lanka dan diberi nama Sumanggalo (meninggal di Belanda pada 2 September 1987).
Pada 14 Mei 1967 di Lawang dibentuk Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD) untuk seluruh Jawa Timur dengan Ketua Umum Ong Kie Tjay dari Surabaya.
Di tahun 1969 datanglah Ven. Chau Kun Phra Dhepvoravethi dari Wat Paknam, Thonburi, Bangkok. Setelah kembali ke Bangkok, ia mengirim, melalui Y.M. Bhikkhu Jinaratana, buku-buku bagian dari Kitab Suci Tipitaka dalam Bahasa Pali dan Inggris dan patung-patung Buddha dari kuningan untuk vihara-vihara di Banten, Bogor, Garut, Muntilan, Purworejo, Bali, Ujung Pandang, Samarinda, Palembang, Jambi, dan tempat-tempat lainnya.
Selain candi-candi tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi candi-candi yang didirikan atas perintah raja-raja Sailendra. Tetapi yang paling besar dan paling indah adalah Candi Borobudur. Setelah Raja Samarottungga meninggal dunia, Mataram kembali diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, namun Agama Buddha dan Agama Hindu dapat berkembang terus berdampingan dengan rukun dan damai.
Pada tahun itu juga datang di Indonesia empat orang Dhammaduta dari Thailand untuk membantu mengembangkan Agama Buddha di Indonesia. Mereka adalah Ven. Phra Kru Pallad Attachariya Nukich (sekarang memakai nama Chau Kun Vidhurdhammabhorn), Ven. Phra Kru Pallad Viriyacarya, Ven. Phra Maha Prataen Khemadas, dan Ven. Phara Maha Sujib Khemacharo.
Tahun 1969 juga, untuk pertamakalinya mahasiswa Buddhis di Jakarta mengadakan Upacara Asadha di Gandhi School, Jakarta. Dua tahun kemudian terbentuklah Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ).
Menjelang perayaan Waisak tahun 1971, datang rombongan Bhikkhu dari Thailand untuk meresmikan Brahma-Vihara yang terletak di Banjar, Singaraja Bali. Rombongan tersebut terdiri dari Ven. Chau Kun Phra Dhammakittisophon dari Wat Benjamabophit, Ven. Chau Kun Phra Dhepgunaphon dari Wat Sraket, Ven. Chau Kun Phra Patrasaramuni dari Wat Prabatmingmaung, Prae, dan Ven. DR. Phra Maha Singhaton Narasabho dari Wat Prajetubon.
Pada 12 Januari 1972 terbentuk Sangha Indonesia yang terdiri dari Y.M. Bhikkhu Jinapiya, Y.M. Bhikkhu Girirakkhito, Y.M. Bhikkhu Jinaratana, Y.M. Bhikkhu Sumanggalo, dan Y.M. Bhikkhu Subhato.
Tanggal 28 Mei 1972 dicetuskan ikrar persatuan dan kesatuan dari tujuh organisasi Buddhis menjadi satu organisasi tunggal dengan nama Buddha Dharma Indonesia (BUDHI). Di samping itu, berdiri juga sebuah Majelis yang diberi nama Majelis Buddha Dharma Indonesia yang kelak akan menetapkan pedoman-pedoman mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan Agama Buddha di Indonesia. Ketujuh organisasi yang menandatangani ikrar tersebut di atas adalah:
1. Perhimpunan Buddhis Indonesia (PERBUDDHI),
2. Buddhis Indonesia,
3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUBSI),
4. Gabungan Tri Dharma Indonesia,
5. Persaudaraan Umat Buddha Salatiga,
6. Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI), dan
7. Dewan Vihara Indonesia.
2. Buddhis Indonesia,
3. Musyawarah Umat Buddha Seluruh Indonesia (MUBSI),
4. Gabungan Tri Dharma Indonesia,
5. Persaudaraan Umat Buddha Salatiga,
6. Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI), dan
7. Dewan Vihara Indonesia.
Perlu diketahui, Gabungan Tri Dharma Indonesia dan Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI), karena sesuatu hal, tidak meleburkan diri ke dalam Buddha Dharma Indonesia (BUDHI).
Atas prakarsa Dirjen Bimas Hindu dan Buddha, pada tahun 1974 terbentuk Sangha Agung Indonesia (SAI).
Pada 23 Juli 1975 alm. Ibu Tien Soeharto meresmikan Arya Dwipa Arama di Taman Mini Indonesia Indah dan menyerahkan penggunaannya kepada umat Buddha Indonesia yang diterima oleh Suraji Ariakertawijaya.
Pada 12-14 Maret 1976 diselenggarakan Pasamuan ke-I Majelis Buddha Dharma Indonesia di Lawang. Pasamuan itu berhasil membuat beberapa ketetapan mengenai berbagai aspek Agama Buddha di Indonesia. Dalam pertemuan tersebut juga terbentuk Badan Pekerja Majelis Buddha Dharma Indonesia.
Tanggal 29 September 1976 terbentuk Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) dengan Ketua Umum Rd. Eko Sasongko Praptomo, SH., dan Sekjen Drs. Pannajiwa AT. GUBSI terdiri dari gabungan umat dari tujuh organisasi, yaitu:
1. Buddha Dharma Indonesia (BUDHI),
2. Gabungan Tri Dharma Indonesia (GTI),
3. Gabungan Vihara Buddha Mahayana Indonesia,
4. Majelis Agama Buddha Nichiren Shoshu Indonesia,
5. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI),
6. Pamong Umat Buddha Kasogatan,
7. Perhimpunan Buddha Dharma Indonesia (PERBUDHI).
2. Gabungan Tri Dharma Indonesia (GTI),
3. Gabungan Vihara Buddha Mahayana Indonesia,
4. Majelis Agama Buddha Nichiren Shoshu Indonesia,
5. Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI),
6. Pamong Umat Buddha Kasogatan,
7. Perhimpunan Buddha Dharma Indonesia (PERBUDHI).
Pada tanggal 3 Oktober 1976 di Bandung terbentuk Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDHI), dengan Sekjen MPU Khemanyana Karbono dan Wakil Sekjen MPU (alm.) Sumedha Widyadharma.
Tanggal 11 Oktober 1976 terbentuk Majelis Agung Buddha Indonesia (MABI) sebagai forum konsultasi dari Majelis-majelis Agama Buddha yang ada, yaitu Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI), Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (MAPANBUMI). Majelis Buddha Dharma Indonesia. Gabungan Tri Dharma Indonesia (GTI). Majelis Kasogatan. Nichiren Shoshu. Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD).
Tanggal 23 Oktober 1976 merupakan tanggal yang bersejarah bagi Agama Buddha mazhab Theravada di Indonesia. Karena pada hari itu berdirilah Sangha Theravada Indonesia di Vihara Maha Dhammaloka, Semarang (sekarang Vihara Tanah Putih). Para Bhikkhu yang tercatat sebagai pendirinya adalah Y.M. Bhikkhu Aggabalo, Y.M. Bhikkhu Khemasarano (alm.), Y.M. Bhikkhu Suddhammo (alm.), Y.M. Bhikkhu Khemiyo, dan Y.M. Bhikkhu Nanavuttho.
Pada 7 – 8 Mei 1978 telah dilangsungkan Kongres Umat Buddha di Yogyakarta dan terbentuklah Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) sebagai wadah tunggal umat Buddha di Indonesia dengan Suparto Hs. Sebagai ketua dan anggota-anggotanya adalah Suwarto Kolopaking, S.H., Ir. T. Soekarno, Gunawan Sindhumarto, S.H., Drs. Oka Diputhera, Bhaggadewa Siddharta, Herman S. Endro, S.H., dan Hartanto Kulle.
Tanggal 9 Maret 1981 dibentuk Yayasan Jakarta Dhammacakkha Jaya dengan Ketuanya adalah (alm.) Bapak O. P. Koesno dan sebagai Sekretaris diangkatlah (alm.) Drs. Teja S. M. Rashid .
Pada 8 – 11 Juli 1986 di Jakarta diadakan Kongres I WALUBI yang dibuka oleh Presiden Soeharto.
Pengukuhan Uposathagara yang terletak di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Jakarta dilakukan pada 24 Agustus 1985. Upacara dipimpin oleh Somdet Phra Nyayasamvara dari Wat Bovoranives, Bangkok, Thailand yang datang bersama lebih dari sepuluh orang Bhikkhu dari Thailand. Yang juga banyak perannya dalam pembangunan Uposathagara tersebut adalah Phra Sombat Pavito Thera (juga dari Thailand). Dengan adanya Uposathagara tersebut, maka para calon Bhikkhu dari Indonesia tidak perlu lagi harus ke Thailand untuk ditahbiskan. Maka, untuk pertama kalinya, tepatnya pada 6 Desember 1987, Uposathagara itu dipergunakan untuk menahbiskan tiga orang Bhikkhu Indonesia dengan Y.M. Sukhemo Thera sebagai Upajjhaya. Tiga orang Bhikkhu adalah Y.M. Bhikkhu Jagaro, Y.M. Bhikkhu Gandhako (alm.), dan Y.M. Bhikkhu Khantidharo.
Sidang Khusus Widyeka Sabha WALUBI pada 8 Juli 1987 dan Sidang DPP WALUBI (9-10 Juli 1987) menjadi sidang-sidang yang penting. Karena melalui sidang-sidang itu, Widyeka Sabha WALUBI mengambil keputusan bulat mengenai NSI (Nichiren Syosyu Indonesia) dengan tidak mengakuinya sebagai sebuah Majelis Agama Buddha di Indonesia. Dasar yang dipakai antara lain, NSI ternyata berisi ajaran dan doktrin yang menyimpang/menyeleweng dari Agama Buddha yang berpedoman pada Kitab Suci Tripitaka/Tipitaka secara utuh terpadu sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha Gautama/Sakyamuni. Keputusan ini kemudian dilaksanakan oleh DPP WALUBI dengan mengeluarkan NSI dari keanggotaan WALUBI melalui Pernyataan DPP WALUBI No.01/DPP/WALUBI/87. Setelah peristiwa itu, WALUBI terdiri dari 3 (tiga) Sangha dan 6 (enam) Majelis Agama Buddha.
Pada Juli 1991 Sangha Therav?da Indonesia (STI) menyerahkan upadi (tanda penghargaan) kepada tiga orang tokoh umat Buddha, bertempat di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Jakarta. Ketiganya adalah Sumedha Widyadharma mendapat gelar SASANA CARIYA, (alm.) Anton Haliman mendapat gelar SASANA PALA, dan Visakha Hartati Tjakra Murdaya mendapat gelar SASANA PALA. Gelar penghargaan ini merupakan gelar kehormatan tertinggi saat itu dan juga yang pertama kali diberikan oleh STI.
Mulai 1993 sampai dengan 1994 kembali terjadi kemelut di dalam tubuh WALUBI. Kemelut kali ini berakhir dengan diberhentikannya Sangha Agung Indonesia dan Majelis Buddhayana Indonesia dari keanggotaan WALUBI pada 15 Oktober 1994.
Pada 12 Juli 1994 untuk pertama kalinya, Presiden Soeharto (saat itu) dan (alm.) Ny. Tien Soeharto bersedia menghadiri Dharmasanti Waisak 2538/1994 di Jakarta Hilton Convention Centre bersama dengan Wakil Presiden Tri Sutrisno dan Ny. Tuti Try Sutrisno serta sejumlah menteri.
Pada 18 Agustus 1994 dibentuk satu lembaga Buddhis baru yang diberi nama Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI) dengan Siti Hartati Murdaya, MBA sebagai Ketua Umum dan Drs. Oka Diputhera sebagai Sekjen.
Tanggal 2 April 1995 bertempat di Vihara Mendut, Mungkid, Jawa Tengah, Sangha Theravada Indonesia menganugerahkan tanda penghormatan kepada tiga orang Pengurus Pusat Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (MAPANBUDHI, sekarang Magabudhi -red). Penghargaan itu diberikan karena pengabdian terus menerus disertai dedikasi yang tinggi selama lebih dari dua puluh lima tahun dan turut aktif mengembangkan Agama Buddha Theravada di Indonesia. Mereka adalah Drs. Teja S. Mochtar Rashid (mendapat gelar DHAMMA VISARADA), Herman Satriyo Endro, S.H. (DHAMMA LANKARA), dan dr. R. Surya Widya (SASANA DHAJA).