KERAJAAN MAJAPAHIT


Majapahit pada abad ke-14 merupakan kekuasaan besar di Asia Tenggara. Peranannya menggantikan Kerajaan Mataram di Jawa dan Sriwijaya di Sumatra, dua kemaharajaan besar di zamannya; yang pertama merupakan negara Agraris, yang kedua negara maritim; kedua ciri tersebut pada dasarnya dimiliki oleh Kerajaan Majapahit.

Menurut beberapa sumber tertulis, legenda, dan cerita masyarakat, nama Majapahit diambil dari kata “buah Maja yang rasanya pahit”, sebagai tanda peringatan peristiwa dibukanya hutan Těrik (Tarik) dan pembangunan pemukiman di daerah tersebut oleh Raden Wijaya.

Majapahit terletak di lembah Sungai Brantas, daerah Těrik (Tarik) dipersimpangan Kali Mas dan Kali Porong, Jawa Timur, Indonesia. Jalur-jalur perhubungan terbentuk dari jejaring sungai-sungai yang sebagian besar relatif pendek. Sungai-sungai yang paling cocok untuk hubungan jarak jauh hanyalah Sungai Berantas dan Bengawan Solo. Tidaklah mengherankan apabila lembah-lembah kedua sungai itu merupakan pusat-pusat kerajaan besar, di antaranya Singgasari dan Majapahit yang memiliki kuasa atas wilayah yang dilalui oleh kedua aliran sungai tersebut pada abad ke-13 dan 14 Masehi.

Raden Wijaya, tokoh utama dalam sejarah Majapahit ini memiliki latar belakang yang menarik. Pararaton dan Kidung Sundayana saling melengkapi hampir dalam setiap hal, kecuali mengenai garis keturunan seorang Raden Wijaya. Sumber utama yang dapat menjadi rujukan dalam menelusuri jejak garis keturunan beliau sebagai salah satu pewaris Wangsa Rajasa yang dibangun oleh Ken Angrok (Ken Arok) hanya Pararaton, yang menyatakan bahwa Raden Wijaya berasal dari garis Dyah Lembu Tal, sementara Kidung Sundayana memaparkan Dyah Lembu Tal memiliki darah atau garis keturunan Sunda.

Jayakatwang (Jayakatong), seorang raja bawahan yang berkuasa di Gelang gelang mengambil alih kekuasaan Singasari. Jayakatwang melakukan pemberontakan terhadap Singasari, tepat setelah ekspedisi Pamalayu diberangkatkan oleh Krtanagara. Krtanagara sendiri gugur dalam peristiwa ini (1292). Sementara itu dalam waktu yang hampir bersamaan, di tahun meninggalnya Krtanagara, di China, Kaisar Dinasti Yuan, Kaisar Shizu (Kubilai Khan) mengirimkan ekspedisi untuk membalas pengusiran utusannya yang terdahulu ke Tanah Jawa.

Kronik Cina mencatat bahwa kekekalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kublai Khan juga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang. Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang, melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memorak-morandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit Mongol di atasnya.

Raden kemudian mendirikan sebuah kerajaan baru yang dinamakan Wilwatikta (sinonim untuk Majapahit dalam bahasa Sansekerta). Nagarakretagama dan Pararaton sependapat bahwa Raden Wijaya menobatkan diri sebagai raja dari sebuah kerajaan baru bernama Majapahit pada tahun 1294. Ia dinobatkan dengan gelar Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana. dan wangsa yang didirikan oleh Raden Wijaya (Nararya Sangramawijaya), tidak bernama Wijaya-Wangsa, melainkan memakai Dinasti Rajasawangsa seperti terbukti dari piagam Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana pada tahun 1305, lempengan satu baris yang bunyinya:

Rajasa-Wangsa, penolong orang utama, pahlawan gagah berani dalam peperangan ….

Dengan kata lain, Nararya Sanggramawijaya tidak mendirikan Rajawangsa baru yang disebut dengan unsur namanya, melainkan melanjutkan wangsa dari Kerajaan Singaasāri yang terputus oleh Jayakatwang pada 1292 M. Nama abhiseka (penobatan) Nararya Sanggramawijaya (Śri Kĕrtarājasa Jayawardhana) mengandung unsur Rajasa (nama pendiri Singasāri). Dengan jalan demikian, Nararya Sanggramawijaya menunjukkan kesetiaan terhadap leluhurnya, Singasari.

Masa-masa awal Kerajaan Majapahit diwarnai beberapa peristiwa yang kemudian dicatat sebagai pemberontakan pada masanya. Ranggalawe dan Lembu Sora adalah yang pertama, disusul oleh Nambi, kemudian Ra Kuti dan Ra Semi, dan yang terakhir tercatat adalah Ra Tanca dalam Pararaton.

Tribhuwanatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit (1328-1351). Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit. Peristiwa Sumpah Palapa kemudian masuk ke dalam catatan sejarah Majapahit atas visi perluasan cakrawala kekuasaan pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi. Dalam Pararaton disebutkan bahwa Sumpah Palapa diucapkan oleh Gajah Mada (dengan wewenang Tribhuwanatunggadewi) saat dilantik sebagai rakryan patih, Patih Amangkubhumi Majapahit tahun 1334M.

Pada 1350 M, putra mahkota Hayam Wuruk dinobatkan menjadi raja keempat Majapahit, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara, juga dikenal dengan nama Bhra Hyang Wekasing Sukha. Hayam Wuruk merupakan kumaraja (raja muda) ketika ibunya, Tribhuwanatunggadewi, masih memerintah. Hayam Wuruk mendapat daerah Jiwana sebagai sebagai daerah lungguh-nya (daerah kekuasaan).

Masa-masa setelah kepemimpinan Raja Hayam Wuruk merupakan masa kemunduran kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pertikaian keluarga, dendam yang berkelanjutan, perubahan politik dan perekonomian dunia internasional, secara tidak langsung mengakibatkan melemahnya kerajaan ini, yang bukan disebabkan oleh serbuan langsung dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.

Perang Paregreg tercatat  merupakan peperangan yang terjadi di antara Istana Barat yang dipimpin Wikramawardhana, melawan Istana Timur yang dipimpin Bhre Wirabhumi. Perang ini terjadi pada 1404-1406 M dan menjadi penyebab utama kemunduran Majapahit. disamping penyerangan lainnya yang dilakukan oleh Bala tentara Demak.

Kerajaan Majapahit melemah kemudian”Sirna Ilang Kertaning Bhumi” (Musnah Hilang Keagungan Negeri: 1400 Saka /1487 M). Tahun inilah yang dipercaya sebagai tahun “keruntuhan” Majapahit.