Prasasti Tanjore selnjutnya menyebutkan kerajaan-kerajaan yang berhasil ditaklukkan oleh Raja Rajendra I dari Kerajaan Cola, yakni: Kerajaan Kadaram (Kataha – Kedah), Pannai, Malayur, Ilamuridesa (Lamuri), Ilanggasokam (Langkasuka), Madalinggam (Tambralingga), dan sebagainya. Diduga nama-nama kerajan tersebut merupakan kerajaan kecil yang pada masa itu merupakan sekutu Kerajaan Siriwijaya. Penyerangan ke Kerajaan Sriwijaya tidak berarti membuat Kerajaan Sriwijaya runtuh. Berita Cina pada 1028 M masih menyebutkan adanya utusan dari Sumatra yang membawa upeti raja Se-li-tieh-hwa. Diduga raja tersebut merupakan keturunan dari Sanggramawijayatunggawarman.
Nagarakretagama menyebutkan bahwa Kerajaan Pane (Panai) termasuk salah satu negara Melayu yang telah tunduk dan berada di bawah Majapahit. Berikut petikan terjemahan Nagarakretagama:
Kemudian akan diperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya. Pun ikut juga disebut daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang Lawas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus. Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk.
Sumber lain yang lebih muda yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Panai adalah surat dari Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda pernah mengirim surat kepada Jacques I yang isinya menyatakan bahwa Panai merupakan jajahan Aceh di pantai timur Sumatra.
Prasasti Rajendra I di Tanjavur mencatat bahwa “Pannai terletak di tepi sungai” di antara daerah atau kota yang diserang tentara Cola pada 1025 Masehi. Lokasi ini diduga di Kuala Panai. Menurut Wheatley nama Panai berasal dari bahasa Tamil yang berarti “ladang” atau “tanah pertanian”, karena itu Pannai dalam prasati Cola diterjemahkan sebagai “well-watered fields (of) Sriwijaya (Lobu Tua Sejarah Awal Barus, 2001: 71 dan Poesponegoro, 2008: 110). Nama Panai juga terdapat di tempat lain: sebuah kota dan sebuah daerah di sebelah timur Danau Toba dan daerah pedalaman Kota Tanjungbalai. Pane juga merupakan nama marga orang Batak di pantai barat; dan karena Padang Lawas lebih dekat dengan pantai ini, maka R. Mulia mengusulkan bahwa pelabuhan Sibolga dan Barus merupakan pintu masuk Kerajaan Panai yang berpusat di daerah-daerah candi. Berdasarkan epigrafi dan tanda-tanda pengaruh Jawa, candi-candi tersebut diduga berasal dari abad ke-10 hingga 14 Masehi dan merupakan peninggalan dari sebuah kerajaan besar beragama Buddha dan berpusat di daerah pedalaman.
Pada zaman dahulu Padang Lawas diperkirakan berhubungan dengan pantai barat, mungkin daerah Toba di selatan Danau Toba, dan tercatat dalam Nagarakretagama yang berperan juga dalam hubungan ini. Pelabuhan Panai dahulu diperkirakan dekat dengan Sungai Panai dan kemungkinan terletak di daerah Panai sekarang. Hipotesis ini diperkuat oleh keadaan sebuah anak Sungai Barumun di bagian hulu; Sungai Barumun dan kualanya dinamakan Panai atau Pane. Padang Lawas berada dalam wilayah Kerajaan Panai yang berpusat di pantai atau, sebaliknya, berpusat di pedalaman namun pintu masuknya di pantai.
Tampaknya sumber-sumber yang berasal dari Cina belum membawa informasi tambahan tentang Kerajaan Panai. Kronik Cina menyebutkan tentang adanya P’o-lo, P’u-lo, dan Pu-lo, yang mungkin mengacu kepada Peureulak, walau pun Wheatley berpendapat bahwa nama-nama tersebut mungkin mengacu kepada Panai. P’ni, yang diduga Panai oleh Gerini, sebenarnya Brunei. Dalam daftar perjalanan I tsing, yang memulai perjalanannya dari arah barat, P’o-li disebut pada posisi kelima, jauh sesudah Malayu, “yang merupakan Kerajaan Sriwijaya sekarang”. Hsu-Yu-t’siao, merujuk kepada Schnitger dan diikuti oleh Mulia, berpendapat bahwa tempat ini sama dengan Panai. Namun menurut kebanyakan peneliti P’o-li, misalnya Pelliot dan Wheatley berpendapat bahwa Po’o-li adalah Bali, sedangkan menurut Wolters, P’o-li terletak di bagian timur Nusantara, di sekitar Chin-li-p’i-shih (Vijayapura) yang kemungkinan besar terletak di Borneo.
Peureulak dan Lambri diperkirakan merupakan pelabuhan di mana terdapat banyak barang berharga, namun khusus untuk kamper terdapat dua pelabuhan saja: Pant’chour, yaitu Fansur atau Barus, di pantai barat, dan Panes atau Panis, yaitu Panai, di pantai timur. Kedua pelabuhan tersebut saling membelakangi dan terletak di satu garis yang memisahkan sumbu Sumatra secara tegak lurus. Daerah-daerah yang paling kaya dengan kamper terletak di antara keduanya, di Bukit Barisan. Keberadaan pelabuhan Panai dan Barus sebagai sebuah pelabuhan yang saling membelakangi menjadikan keuntungan tersendiri dalam jalur perdagangan, karena memiliki jalur perdagangan masing-masing. Panai memiliki jalur perdagangan di sekitar Selat Malaka dan Barus sendiri memiliki jalur perdagangan di Samudra Hindia. Namun untuk mengekspor “kamper dalam jumlah besar” pada abad ke-12 Masehi, Kerajaan Panai semestinya berhubungan dengan daerah-daerah yang terletak di perbatasan bagian hulu Sungai Barumun dan kalau sungai ini juga dinamakan Sungai Panai, maka sungai inilah yang dari dahulu merupakan jalan utama untuk kamper dan bahan-bahan dari pedalaman ke pantai timur. Ini mungkin merupakan konfirmasi bahwa Kerajaan Panai meliputi seluruh daerah aliran Sungai Barumun, termasuk Padang Lawas (kini nama kabupaten di Sumatra Utara, hasil pemekaran Kab. Tapanuli Selatan).
Situs Padang Lawas
Sebagaimana umur manusia ada batasnya, demikian pula halnya dengan peradaban di Padang Lawas. Goncangan pertama yang dialami oleh peradaban ini adalah pada 1030 Masehi ketika penguasa Kerajaan Cola, Rajendra I, menyerang Panai yang diperkirakan merupakan kerajaan yang membangun kepurbakalaan di Padang Lawas. Namun, tampaknya kerajaan ini masih eksis hingga abad ke-14 M, yang dibuktikan dengan disebutkannya nama Panai sebagai salah satu wilayah Majapahit yang berada di bumi Malayu. Setelah masa itu, tidak diketahui dengan pasti apakah Kerajaan Panai masih eksis dan biaro – biaronya dimanfaatkan sebagaimana fungsinya sebagai tempat persembahyangan, hingga pada pertengahan abad ke-19 (tahun 1837) saat Belanda dapat menaklukkan wilayah Padang Lawas, sebagai bagian dari upaya Belanda mereduksi wilayah pengaruh kaum Padri di Tanah Tapanuli.
Keberadaan Kerajaan Panai tidak disebut kemudian dalam sumber Cina, termasuk Ma Huan, sekretaris Cheng Ho. Hal tersebut bukan berarti bahwa Kerajan Panai telah hilang, seperti yang dituliskan oleh Mills, Ma Huan juga tidak mencatat Kerajaan Lampung dan Kampar. Ma Huan tidak memberikan deskripsi Peureulak karena tempat ini termasuk dalam Kerajaan Samudra yang berbatasan dengan Aru pada zaman itu. Selain itu, Panai merupakan salah satu dari dua kerajaan yang tidak tercatat oleh Marco Polo, mungkin karena Panai terletak di satu daerah yang tidak dikunjunginya. Kemerosotan Sriwijaya sejak abad ke-13 M akibat serangan Siam dan Jawa serta kehilangan kekuasaan atas kawasan Selat Malaka, memperlemahkan kekuatan pelabuhan Padang Lawas – Panai.
Berdasarkan prasasti abad ke-14 yang ditemukan di bagian hulu daerah aliran sungai di Rokan, yang dipercayai diperuntukkan bagi seorang tuan tanah yang tunduk kepada Raja Adityawarman dari Minangkabau, diduga bahwa pada zaman itu di Padang Lawas masih terdapat sebuah pusat kekuasaan. Pada abad ke-16, sewaktu Malaka dan Aceh berkembang, Sulayman al-Mahri mengenal sebuah pelabuhan saja untuk kamper di seluruh pelabuhan Sumatera, yaitu Fansur dan tidak mencatat Panai di antara Aru dan Rokan yang dideskripsikan sebagai dua pelabuhan kecil. Pires meletakkan Kerajaan Acat, yang tunduk pada Aru, di daerah yang diduga bernama Panai pada zaman sebelumnya. Selain itu, Pires menambahkan bahwa Aru menyediakan sejenis kamper yang kualitasnya lumayan dan berbagai jenis barang. Sebagian dari barang dagangan itu beredar di Minangkabau, sedangkan sebagian lainnya dibawa ke Panchur, seperti zaman dahulu.
Pada abad ke-10 Kerajaan Panai diperkirakan telah berkembang dan menjadi kerajaan yang penting di Sumatra. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila Rajendra I dari Kerajaan Cola melakukan penyerangan pada 1025 M. Namun, serangan tersebut tidak berhasil menghancurkan Panai karena terbukti pada abad-abad berikutnya justru kerajaan tersebut berhasil berkembang, dan bahkan berhasil membangun komplek percandian Padang Lawas yang monumental. Sangat disayangkan. meski bangunan-bangunan di Padang Lawas cukup banyak, tidak ada satu pun yang menyebutkan tentang sebuah kerajaan dan raja-rajanya. Tulisan-tulisan singkat yang dipahat dalam lembaran emas lebih mengenai mantra ajaran-ajaran Tantris yang berkembang pada saat itu. Sebagai informasi tambahan, Raja Kertanagara dari Singhasari, Adityawarman dari Kerajaan Malayapura (Pagaruyung), dan Kubilai Khan dari Mongol adalah penganut setia dari ajaran tersebut (Poesponegoro, 2008: 111).
Melihat bangunan di situs Padang Lawas, dapat ditafsirkan bahwa masyarakat pendukung situs tersebut dulunya merupakan pemeluk Buddha. Hal tersebut bisa di identifikasi berdasarkan bangunan-bangunan peninggalan yang masih dapat kita temukan sampai sekarang, walapun mungkin bangunan tersebut tidak bagus seperti pada zamannya dulu “kurang terawat”.
Sumber Bacaaan
Guilot, Claude. 2002. Lobu Tua Sejarah Awal Barus. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II, Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
Soedewo, Ery. 2008. “Arca Perunggu Garuda dan Boddhisatva Padmapani dari Padanglawas”. [Online]. Terdapat di. http://balarmedan.wordpress.com/2008/06/02/arca-perunggu-garuda-dan-boddhisatva-padmapani-dari-padanglawas/ [26/10/10].
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II, Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
Soedewo, Ery. 2008. “Arca Perunggu Garuda dan Boddhisatva Padmapani dari Padanglawas”. [Online]. Terdapat di. http://balarmedan.wordpress.com/2008/06/02/arca-perunggu-garuda-dan-boddhisatva-padmapani-dari-padanglawas/ [26/10/10].
Sumber: wacananusantara.org