WISATA MONUMEN JALESVEVA JAYAMAHE SURABAYA


 
Monumen Jalesveva Jayamahe (Monjaya) merupakan bukti besar dan karya yang sangat memukau. Sebuah penghargaan atas nilai sejarah yang tinggi, sebagai refleksi dari bangsa Indonesia sebagai satu bangsa maritim. Makna lain dari sosok patung ini adalah sebagai simbol kesiapan untuk menerima pengabdian dari generasi ke generasi berikutnya.

Monumen ini berupa patung setinggi 30,6 meter, yang ditopang oleh sebuah bangunan setinggi 30 meter. Patung ini menggambarkan Komandan Pasukan Angkatan Laut Indonesia lengkap dengan pedang kehormatan yang menatap ke arah laut penuh keyakinan dan kesungguhan dan siap untuk melawan gelombang dan pergi menentang badai, yang menunjukkan bahwa itu adalah aspirasi bangsa Indonesia.

Monumen yang dibangun oleh inisiatif Komandan Staf Angkatan Laut Indonesia saat itu, Laksamana TNI Muhamad Arifin dan dirancang oleh Nyoman Nuarta dapat berfungsi juga sebagai menara Lampu Pemandu (Mercusuar) untuk kapal berlayar di sekitarnya. Ada gong raksasa Kyai Tentrem dibawah monumen, yang memiliki diameter 6 meter dan berat lebih dari 2 ton.

Monumen Jalesveva Jayamahe diambil dari semboyan TNI AL yang berarti, "Di Laut Kita Jaya" memiliki ketinggian 60 meter. Bangunan ini terdiri dari bangunan beton berkubah empat lantai setinggi 30 meter yang dipakai sebagai tumpuan patung tembaga setinggi 30 meter. Pada bagian dinding bangunan terdapat diorama sejarah prajurit laut (TNI AL) sejak jaman revolusi fisik hingga tahun 90-an.

Awalnya bangunan ini berfungsi sebagai Museum TNI AL dan juga sebagai "Eksekutif Meeting Room". Patungnya ini menggambarkan Kolonel Angkatan Laut Marinir Indonesia dengan pakaian upacara (PDU 1). Tangan kanannya bertolak dan tangan kirinya memegang pedang komando. Mata sang kolonel menatap ke laut luas. Pada lantai dasar bangunan bundar, ada gong Kyai Tentrem.

Menurut mantan Kepala Staf TNI AL Laksamana Madya Arief Kushariadi, patung heroik ini sengaja diberi pangkat kolonel. "Karena kolonel adalah pemimpin heroik yang memasuki fase matang dan siap untuk memasuki posisi teras," katanya Mengapa melihat ke laut? "Karena masa depan kita di laut," ulangnya. Sisi Angkatan Laut, kata Arief, "Kami juga berharap monumen ini akan menjadi lokasi wisata bahari di Surabaya ".

Monumen ini dibangun sejak 1990 dan dibuka pada Desember 1996 yang bertepatan dengan hari TNI Republik Indonesia pada tanggal 5 Decembers 1996 oleh Presiden Soeharto, dengan biaya Rp. 27 miliar. Patung ini disebut sebagai yang tertinggi kedua di dunia setelah Patung Liberty, 85 meter, berada di mulut pelabuhan New York. Patung Kolonel ini memiliki kulit tembaga.

Desainernya, Nyoman Nuarta adalah pembuat patung terkenal dari Bandung yang juga membuat patung tembaga Garuda Wishnu Kencana di Jimbaran, Bali. Nyoman mencetak tubuh patung di bengkelnya di Bandung dalam bentuk potongan modul. Setelah itu selesai, dibawa ke Surabaya dan direkatkan satu sama lain. Untuk membuat patung itu, Nyoman Nuarta mendapatkan 3000 ton tembaga dari PLN, 60 ton dari Departemen Telekomunikasi, dan sejumlah tembaga bekas luruhan peluru.

Alasan dibangunnya Monjaya adalah karena ide, bagaimanapun kemajuan suatu bangsa masih harus melangkah berdasar pada sejarah. Artinya, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai jasa para pahlawan". Dari berbagai jenis pahlawan yang berjasa yang telah gugur di medan pertempuran, menegakkan dan mengisi kemerdekaan bangsa dan NKRI, termasuk di dalamnya para prajurit dari Angkatan Laut Indonesia. Ini adalah pengorbanan yang tak terhitung jumlahnya yang telah mereka berikan. Bahkan mereka memberikan jiwa mereka. Hanya sebagian kecil dari mereka yang kita kenal dan namanya telah diabadikan menjadi nama kapal perang Republik Indonesia.
Selain sebagai tanda penghargaan dan kenangan dari generasi yang masih hidup, juga diharapkan mampu memberikan motivasi untuk melanjutkan perjuangan mereka menuju tercapainya cita-cita Angkatan Laut yang besar, kuat dan profesional di negeri NKRI yang adil dan makmur.

Tanpa mengecilkan peristiwa bersejarah yang terjadi di Sibolga, Tegal, Pasuruan, Bali atau tidak peduli dalam peristiwa sejarah Indonesia yang terjadi di Ujung sebagai bagian dari wilayah kota Surabaya tentu saja tidak dapat dipisahkan dari sejarah Angkatan Laut Indonesia, yang berjuang dalam barisan peristiwa Kaigun SE 21/24 Butai, pada 3 Oktober 1945, apa yang ditandai dengan sumpah 'Bahariwan Penataran Angkatan Laut' (PAL) yang berbunyi : "Aku rela dan jujur ​​untuk mengorbankan tubuh dan harta benda dan jiwa raga untuk Negara dan Bangsa".



Dalam peristiwa selanjutnya dari Angkatan Laut Indonesia, Ujung memiliki peran sangat penting, yang merupakan dasar (Home Base) dari keberadaan kapal perang terbesar Angkatan Laut Indonesia sampai sekarang, sehingga bukanlah lelucon ketika beberapa orang awam menamakan Surabaya sebagai kota kota pelaut atau kota Angkatan Laut.

Karena konsekuensi kompetensinya maka Monumen Jalesveva Jayamahe dibangun di Ujung Surabaya. Selain itu, juga diharapkan pembentukan monumen ini dapat menambah kejayaan Ujung Surabaya yang berarti menambah kehormatan Surabaya sebagai kota pahlawan dan sebagai kota Indarmadi (Industri, Perdagangan, Maritim dan Pendidikan).

sumber