KAMPOENG BATIK LAWEYAN SOLO


Laweyen adalah salah satu sentral Batik di Solo. Kampung ini Tentunya ada banyak sekali sejarah yang tertinggal di kapung ini dan menjadi icon Batik Solo


Batik merupakan hasil karya seni tradisional yang banyak ditekuni masyarakat Laweyan. Sejak abad ke-19 kampung ini sudah dikenal sebagai kampung batik. Itulah sebabnya kampung Laweyan pernah dikenal sebagai kampung juragan batik yang mencapai kejayaannya di era tahun 70-an. Menurut Alpha yang juga pengelola Batik Mahkota,

Di kawasan Laweyan ada Kampung Laweyan, Tegalsari, Tegalayu, Batikan, dan Jongke, yang penduduknya banyak yang menjadi produsen dan pedagang batik, sejak dulu sampai sekarang. Di sinilah tempat berdirinya Syarekat Dagang Islam, asosiasi dagang pertama yang didirikan oleh para produsen dan pedagang batik pribumi, pada tahun 1912.

Bekas kejayaan para saudagar batik pribumi tempo doeloe yang biasa disebut ‘Gal Gendhu’ ini bisa dilihat dari peninggalan rumah mewahnya. Di kawasan ini, mereka memang menunjukkan kejayaannya dengan berlomba membangun rumah besar yang mewah dengan arsitektur cantik.
Kawasan Laweyan dilewati Jalan Dr Rajiman, yang berada di poros Keraton Kasunanan Surakarta – bekas Keraton Mataram di Kartasura. Dari Jalan Dr Rajiman ini, banyak terlihat tembok tinggi yang menutupi rumah-rumah besar, dengan pintu gerbang besar dari kayu yang disebut regol. Sepintas tak terlalu menarik, bahkan banyak yang kusam. Tapi begitu regol dibuka, barulah tampak bangunan rumah besar dengan arsitektur yang indah. Biasanya terdiri dari bangunan utama di tengah, bangunan sayap di kanan-kirinya, dan bangunan pendukung di belakangnya, serta halaman depan yang luas.

Dengan bentuk arsitektur, kemewahan material, dan keindahan ornamennya, seolah para raja batik zaman dulu mau menunjukkan kemampuannya untuk membangun istananya, meski dalam skala yang mini. Salah satu contoh yang bisa dilihat adalah rumah besar bekas saudagar batik yang terletak di pinggir Jalan Dr Rajiman, yang dirawat dan dijadikan homestay Roemahkoe yang dilengkapi restoran Lestari.

Tentu saja tak semuanya bisa membangun “istana” yang luas, karena di kanan-kirinya adalah lahan tetangga yang juga membangun “istana”-nya sendiri-sendiri. Alhasil, kawasan ini dipenuhi dengan berbagai istana mini, yang hanya dipisahkan oleh tembok tinggi dan gang-gang sempit. Semangat berlomba membangun rumah mewah ini tampaknya mengabaikan pentingnya ruang publik. Jalan-jalan kampung menjadi sangat sempit. Terbentuklah banyak gang dengan lorong sempit yang hanya cukup dilewati satu orang atau sepeda motor.

Tapi di sinilah uniknya. Menelusuri lorong-lorong sempit di antara tembok tinggi rumah-rumah kuno ini sangat mengasyikkan. Kita seolah berjalan di antara monumen sejarah kejayaan pedagang batik tempo doeloe. Pola lorong-lorong sempit yang diapit tembok rumah gedongan yang tinggi semacam ini juga terdapat di kawasan Kauman, Kemlayan, dan Pasar Kliwon. Karena mengasyikkan, menelusuri lorong-lorong sejarah kejayaan Laweyan yang eksotis ini bisa menghabiskan waktu. Apalagi jika Anda melongok ke dalam, melihat isi dan keindahan ornamen semua “istana” di kawasan ini.

Tapi sayangnya satu per satu bangunan kuno yang berarsitektur cantik, hancur digempur zaman, digantikan ruko atau bangunan komersial baru yang arsitekturnya sama sekali tidak jelas. Pemerintah daerah setempat tak bertindak apa pun menghadapi kerusakan artefak sejarah ini. Bahkan bekas rumah Ketua Sarekat Dagang Islam H. Samanhoedi, yang seharusnya dilindungi sebagai saksi sejarah, sudah tidak utuh lagi, bagian depannya digempur habis. Bekas istana Mataram di Kartasura juga dibiarkan hancur berantakan.