Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan terus mencatat seluruh warisan kebudayaan yang ada di Nusantara. Catatan itu untuk mengkomparasikan warisan budaya yang ada supaya mendapatkan pengakuan dari UNESCO.
“Permainan tradisional sekecil apapun akan kita catat dan administrasikan dalam buku besar. Ini bukan pekerjaan yang ringan, tetapi harus terus dikerjakan,” ujar Mendikbud, Mohammad Nuh, di Yogyakarta.
Kemendikbud sudah membentuk tim pencatat, meski pencatatan warisan budaya nusantara ini tidak akan selesai dalam kurun waktu lima tahun.
Pencatatan warisan budaya itu membutuhkan waktu yang cukup lama, karena yang didata bukan hanya jawa, tetapi seluruh Indonesia. Apalagi, menurut Nuh, bahasa yang ada di Indonesia sendiri lebih dari 600-an.
“Mulai dari permainan-permainan tradisional itu kan banyak yang hilang. Salah satu contoh, Jarang Kepang atau bahasa Jawa Tengah-nya Kuda Lumping. Permainan itu kan kita sudah mengetahui semua, tetapi saat ditanya mulai kapan adanya Jarang Kepang? Abad Ke berapa? Nggak ono sing eroh,” ujar Nuh dengan khas logat Jawa.
Dia menambahkan, beberapa pertanyaan seperti filosofi Jarang Kepang? Kapan Jaran Kepang diperagakan? kembali lagi Nuh mempertegas tidak ada yang mengetahui secara detail.
Dari penelusuran itu, tugas tim pencatat dari Kemendikbud harus mengali lebih dalam untuk mengurai benang kusut yang selama ini ada di masyarakat.
“Kenapa kok pakai kepang atau gedhek. Apa nilainya? kenapa kok setelah melakukan tarian itu muncul semacam magis, kemudian pemainnya makan beling. Ono lombok (cabe) kok maem beling. Itu lebih menarik lagi kalau lombok campur beling jadi rujak beling,” kelakarnya sambil tertawa.
“Apa makna nilai yang ada dalam jarang kepang itu menjadi tugas kita melestarikan, membukukan, agar tidak punah ditelan zaman. Lembaga yang melakukan pencatatan dari departenmen kebudayaan,” jelasnya.
Nuh kembali mengingatkan permainan bentik, yang mengunakan batang pandan sebagai pemukul dan batang kecil untuk dipukul. Kemudian, permainan dakon, permainan grobak sodor, dan masih banyak permainan tradisional lainnya yang kini sudah jarang dimainkan oleh anak-anak, remaja, maupun orang tua karena tidak memiliki nilai ‘ekonimis’ bagi pemainnya.
“Lah kalau permainan-permainan ini tidak kita angkat kembali, kita khawatir permainan-permainan tradisional ini akan hilang. Itu semua kekayaan kita, itu semua warisan-warisan budaya dari pendahulu kita,” jelasnya.