Lagu “Nenek moyangku orang pelaut…” mungkin masih terngiang di telinga anda. Lagu itu mengingatkan kita bahwa bangsa kita adalah bangsa penjelajah yang terkenal, yang jangkauannya sampai ke Afrika, walau hanya menggunakan kapal sederhana.
Hampir semua tulisan sejarah peradaban dunia menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan pinggiran, identitas kelas dua atau kelas tiga di kancah internasional, juga dalam tatanan sosial, politik, ekonomi antar bangsa. Padahal, Asia Tenggara justeru dinilai sebagai cikal bakal peradaban kuno.
Demikian diungkapkan pakar geologi lingkungan Ir. Oki Oktariadi saat memaparkan topik “Peradaban Nusantara yang Ditemukan di Dunia” pada diskusi Pengaruh Peradaban Nusantara di Dunia, 23 Oktober 2010 di Libra Room, Executive Club, Hotel Sultan, Jakarta. Oki membahas gambaran umum peradaban-peradaban Nusantara yang ada di dunia.
Menurut dia, tidak bisa disalahkan jika banyak pendapat mengatakan bahwa perkembangan kebudayaan nusantara subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak difusi budaya dari pusat peradaban lain berpusat di Mesir, Cina dan India.
Padahal, kata dia, berdasarkan makalah tersebut, dokter ahli genetik Stephen Oppenheimer (2004) yang belajar tentang sejarah peradaban melihat, bahwa Asia Tenggara justeru merupakan cikal bakal peradaban kuno.
Ketua Yayasan Nuswantara Bakti Pontjo Sutowo mengatakan, penetapan topik bahasan dalam diskusi kali ini berlatar belakang tulisan Robert Dick Read yang diterbitkan Mizan pada 2008, yaitu “Penjelajah Bahari, Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika” (The Phantom Voyagers. Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times).
Pontjo mengatakan, kajian Read memaparkan banyak bukti arkeologis baru yang menyatakan bahwa para pelaut Nusantara telah menaklukkan begitu banyak samudra, jauh sebelum bangsa Eropa, Arab, dan Cina. Bahkan, kata Pontjo, diduga pada abad ke-5 dan ke-7, para pedagang Cina begitu tergantung pada jasa pelaut Nusantara.
Di samping tingkat kejeniusan dalam membuat perahu yang kokoh, lanjut dia, pelaut-pelaut asal Austronesia atau Indo-polinesia ini begitu disegani lantaran penjelajahannya yang jauh mengarungi lautan luas.
Halaman awal buku Read itu sendiri dimulai dengan penjelasan secara kronologis tentang kedatangan Ras Mongol berbahasa Austronesia ke Kepulauan Indonesia menggunakan kano-kano dari Formosa, Taiwan, sekitar 3000 SM.
Mereka kemudian melakukan upaya kawin mawin dengan Ras Australo-Melanesia, 60.000 tahun lampau, yang juga pernah menyeberangi lautan menuju Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Bismarck.
Ras Austronesia itulah, yang menurut Read, kemudian menimbulkan budaya baru, yang dikenal sebagai orang-orang Lapita yang memproduksi tembikar dan obsidian atau mata panah.
Menariknya, buku Read juga menjelaskan tentang kisah pelaut-pelaut Kepulauan Indonesia di pusat-pusat-pusat peradaban dunia. Pelaut Indonesia diindikasikan pernah menempati India Selatan pada era pra-Dravida, akhir 500 SM. Mereka berlayar menggunakan kano-kano bercadik satu.
Dicatat oleh Read, para pelaut Nusantara itu disebut sebagai Ras Naga oleh Etnik Tamil. Dalam perjalanan waktu, kano bercadik tersebut kemudian terserap dalam kebudayaan Tamil, lantaran hipotesis mayoritas ilmuwan abad-19 yang meyakini, bahwa bangsa India bukanlah bangsa pelaut. Dengan kata lain, kano milik pelaut Indonesia direplikasi menjadi model kano umum di India.
sumber