SEJARAH KOTA BONDOWOSO


Kabupaten Bondowoso, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Ibukotanya adalah Bondowoso. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di utara, Kabupaten Banyuwangi di timur, Kabupaten Jember di selatan, serta Kabupaten Probolinggo di barat. Ibukota kabupaten Bondowoso berada di persimpangan jalur dari Besuki dan Situbondo menuju Jember.

GEOGRAFI.

Kabupaten Bondowoso dapat dibagi menjadi tiga wilayah: Wilayah barat merupakan pegunungan (bagian dari Pegunungan Iyang), bagian tengah berupa dataran tinggi dan bergelombang, sedang bagian timur berupa pegunungan (bagian dari Dataran Tinggi Ijen). Bondowoso merupakan satu-satunya kabupaten di daerah Tapal Kuda yang tidak memiliki garis pantai.

LETAK DAN POSISI.

Kabupaten Bondowoso adalah salah satu kabupaten dalam Propinsi Jawa  Timur yang terletak di sebelah timur Pulau Jawa. Dikenal dengan sebutan  daerah tapal kuda. Ibukotanya adalah Bondowoso. Kabupaten Bondowoso  memiliki luas wilayah 1.560,10 km2 yang secara geografis berada pada  koordinat antara 113°48′10″ - 113°48′26″ BT dan 7°50′10″ - 7°56′41″ LS.

Kabupaten Bondowoso memiliki suhu udara yang cukup sejuk berkisar  15,40 0C – 25,10 0C, karena berada di antara pegunungan Kendeng Utara  dengan puncaknya Gunung Raung, Gunung Ijen dan sebagainya di sebelah  timur serta kaki pengunungan Hyang dengan puncak Gunung Argopuro, Gunung  Krincing dan Gunung Kilap di sebelah barat. Sedangkan di sebelah utara  terdapat Gunung Alas Sereh, Gunung Biser dan Gunung Bendusa.

Letak Kabupaten Bondowoso tidak berada pada daerah yang strategis.  Meskipun berada di tengah, namun Kabupaten Bondowoso tidak dilalui jalan  negara yang menghubungkan antar propinsi. Bondowoso juga tidak memiliki  lautan. Ini yang menyebabkan Bondowoso sulit berkembang dibandingkan  dengan kabupaten lainnya di Jawa Timur.

SEJARAH.

Semasa Pemerintahan Bupati  Ronggo Kiai Suroadikusumo di Besuki mengalami kemajuan dengan  berfungsinya Pelabuhan Besuki yang mampu menarik minat kaum pedagang  luar. Dengan semakin padatnya penduduk perlu dilakukan pengembangan  wilayah dengan membuka hutan yaitu ke arah tenggara. Kiai Patih Alus  mengusulkan agar Mas Astrotruno, putra angkat Bupati Ronggo  Suroadikusumo, menjadi orang yang menerima tugas untuk membuka hutan  tersebut. usul itu diterima oleh Kiai Ronggo-Besuki, dan Mas Astrotruno  juga sanggup memikul tugas tersebut. Kemudian Kiai Ronggo Suroadikusumo  terlebih dahulu menikahkan Mas Astotruno dengan Roro Sadiyah yaitu putri  Bupati Probolinggo Joyolelono. Mertua Mas Astrotruno menghadiahkan  kerbau putih “Melati” yang dongkol (tanduknya melengkung ke bawah) untuk  dijadikan teman perjalanan dan penuntun mencari daerah-daerah yang  subur.

Pengembangan wilayah ini dimulai pada 1789, selain untuk tujuan  politis juga sebagai upaya menyebarkan agama Islam mengingat di sekitas  wilayah yang dituju penduduknya masih menyembah berhala. Mas Astrotruno  dibantu oleh Puspo Driyo, Jatirto, Wirotruno, dan Jati Truno berangkat  melaksanakan tugasnya menuju arah selatan, menerobos wilayah pegunungan  sekitar Arak-arak “Jalan Nyi Melas”. Rombongan menerobos ke timur sampai  ke Dusun Wringin melewati gerbang yang disebut “Lawang Seketeng”.  Nama-nama desa yang dilalui rombongan Mas Astrotruno, yaiitu Wringin,  Kupang, Poler dan Madiro, lalu menuju selatan yaitu desa Kademangan  dengan membangun pondol peristirahatan di sebelah barat daya Kademangan  (diperkirakan di Desa Nangkaan sekarang.

Desa-desa yang lainnya adalah disebelah utara adalah Glingseran,  Tamben dan Ledok Bidara. disebelah Barat terdapat Selokambang,  Selolembu. sebelah timur adalah Tenggarang, Pekalangan, Wonosari,  Jurangjero, Tapen, Praje,kan dan Wonoboyo. Sebelah selatan terdapat  Sentong, Bunder, Biting, Patrang, Baratan, Jember, Rambi, Puger,  Sabrang, Menampu, Kencong, Keting. Jumlah Penduduk pada waktu itu adalah  lima ratus orang, sedangkan setiap desa dihuni, dua, tiga, empat orang.  kemudian dibangunlah kediaman penguasa di sebelah selatan sungai  Blindungan, di sebelah barat Sungai Kijing dan disebelah utara Sungai  Growongan (Nangkaan) yang dikenal sebagai “Kabupaten Lama” Blindungan,  terletak ±400 meter disebelah utara alun-alun.

Pekerjaan membuka jalan berlangsung dari tahun 1789-1794. Untuk  memantapkan wilayah kekuasaan, Mas Astrotruno pada tahun 1808 diangkat  menjadi demang dengan gelar Abhiseka Mas Ngabehi Astrotruno, dan  sebutannya adalah “Demang Blindungan”. Pembangunan kotapun dirancang,  rumah kediaman penguasa menghadap selatan di utara alun-alun. Dimana  alun-alun tersebut semula adalah lapangan untuk memelihara kerbau putih  kesayangan Mas Astrotruno, karena disitu tumbuh rerumputan makanan  ternak. lama kelamaan lapangan itu mendapatkan fungsi baru sebagai  alun-alun kota. Sedangkan di sebelah barat dibangun masjid yang  menghadap ke timur. Mas Astrotruno mengadakan berbagai tontonan, antara  lain aduan burung puyuh (gemek), sabung ayam, kerapan sapi, dan aduan  sapi guna menghibur para pekerja. tontonan aduan sapi diselenggarakan  secara berkala dan menjadi tontonan di Jawa Timur sampai 1998. Atas  jasa-jasanya kemudian Astrotruno diangkat sebagai Nayaka merangkap Jaksa  Negeri.

Dari ikatan Keluarga Besar “Ki Ronggo Bondowoso” didapat keterangan  bahwa pada tahun 1809 Raden Bagus Asrah atau Mas Ngabehi Astrotruno  dianggkat sebagi patih berdiri sendiri (zelfstanding) dengan nama  Abhiseka Mas Ngabehi Kertonegoro. Beliau dipandang sebagai penemu  (founder) sekaligus penguasa pemerintahan pertama (first ruler) di  Bondowoso. Adapun tempat kediaman Ki Kertonegoro yang semula bernama  Blindungan, dengan adanya pembangunan kota diubah namanya menjadi  Bondowoso, sebagai ubahan perkataan Wana Wasa. Maknanya kemudian  dikaitkan dengan perkataan Bondo, yang berarti modal, bekal, dan woso  yang berarti kekuasaan. makna seluruhnya demikian: terjadinya negeri  (kota) adalah semata-mata karena modal kemauan keras mengemban tugas  (penguasa) yang diberikan kepada Astrotruno untuk membabat hutan dan  membangun kota.

Meskipun Belanda telah bercokol di Puger dan secara administrtatif  yuridis formal memasukan Bondowoso kedalam wilayah kekuasaannya, namun  dalam kenyataannya pengangkatan personel praja masih wewenang Ronggo  Besuki, maka tidak seorang pun yang berhak mengklaim lahirnya kota baru  Bondowoso selain Mas Ngabehi Kertonegoro. Hal ini dikuatkan dengan  pemberian izin kepada Beliau untuk terus bekerja membabat hutan sampai  akhir hayat Sri Bupati di Besuki.

Pada tahun 1819 Bupati Adipati Besuki Raden Ario Prawiroadiningrat  meningkatkan statusnya dari Kademangan menjadi wilayah lepas dari Besuki  dengan status Keranggan Bondowoso dan mengangkat Mas Ngabehi Astrotruno  menjadi penguasa wilayah dengan gelar Mas Ngabehi Kertonegoro, serta  dengan predikat Ronngo I. Hal ini berlangsung pada hari Selasa Kliwon,  25 Syawal 1234 H atau 17 agustus 1819. Peristiwa itu kemudian dijadikan  eksistensi formal Bondowoso sebagai wilayah kekuasaan mandiri di bawah  otoritas kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso. Kekuasaan Kiai Ronggo  Bondowoso meliputi wilayah Bondowoso dan Jember, dan berlangsung antara  1829-1830.

Pada 1830 Kiai Ronggo I mengundurkan diri dan kekuasaannya diserahkan  kepada putra keduanya yang bernama Djoko Sridin yang pada waktu itu  menjabat Patih di Probolinggo. Jabatan baru itu dipangku antar 1830-1858  dengan gelar M Ng Kertokusumo dengan predikat Ronggo II, berkedudukan  di Blindungan sekarang atau jalan S Yudodiharjo (jalan Ki Ronggo) yang  dikenal masyarakat sebagi “Kabupaten lama”.Setelah mengundurkan diri,  Ronggo I menekuni bidang dakwah agama Islam dengan bermukim di Kebun  Dalem Tanggul Kuripan (Tanggul, Jember), Ronggo I wafat pada 19  Rabi’ulawal 1271 H atai 11 Desember 1854 dalam usia 110 tahun.  jenazahnya dikebumikan disebuah bukit (Asta Tinggi) di Desa Sekarputih.  Masyarakat Bondowoso menyebutnya sebagai “Makam Ki Ronggo”.