
Lokasi
Taman Ujung terletak dekat pantai kawasan Ujung, Desa Tumbu, Kecamatan Karangasem, Kabupaten Karangasem. Jaraknya 5 Km dari kota Amlapura ke arah Selatan, dan kira-kira 85 Km dari kota Denpasar. Dan obyek ini mudah dicapai dengan kendaraan roda empat.
Deskripsi
Taman Ujung dibangun oleh raja Karangsem pada tahun 1919 dan diresmikan penggunaannya pada tahun 1921. Taman ini merupakan tempat peristirahatan raja, selain Taman Tirtagangga. Sekitar 25 meter di sebelah Utara Taman ini terdapat sebuah pura bernama Pura Manikan yang juga dibangun oleh Raja Karangasem. Sekarang pura ini telah dipugar dan bangunannya sudah baik dan megah. Di dekat pura ini terdapat mata air dan kolam dimana dulu di tempat ini digunakan oleh raja dan masyarakat Karangsem melangsungkan upacara "Metirta Yatra" yang tujuannya menghaturkan terima kasih dan mohon berkah kemakmuran kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sampai sekarang tradisi ini masih tetap berlangsung dan penyelenggaraan upacara Tirta Yatra dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Karangasem bersama masyarakat terutama para anggota subak di Kecamatan Karangasem
Wisata

Sang Arsitek Otodidak Pendiri Taman Ujung Soekasada , salah seorang raja Karangasem, dengan kemampuan teknis-arsitektural dan estetik, telah berhasil memanfaatkan bentang alam dan lingkungan di sekitarnya yang berteras-teras, dengan gunung-gunung sebagai latar belakang alami, sumber air, sungai-sungai dan pesisir Pantai Ujung. Dalam pembangunan taman ini, sang raja kemungkinan basar telah menggunakan konsepsi kosmologi masyarakat Bali sebagai landasan ideologis.

Secara kosmologis, pesisir pantai atau laut adalah bagian hilir atau muara (tebenan), adalah tempat menunggalnya segala kekuatan magis yang berasal dari gunung atau bukit, yang kemudian mengalir ke hilir melalui sungai-sungai, seakan-akan secara simbolis membagi-bagikan air kehidupan kepada masyarakat.
Selain itu, gunung adalah bagian hulu (luwanan) yang punya kekuatan adikodrati yang tak tertandingi. Sebaliknya, gunung juga tak selamanya merupakan kekuatan alam yang ramah, karena dapat menimbulkan bencana besar secara tiba-tiba, jika ekosistemnya terganggu. Menurut kosmologi masyarakat Bali dan juga masyarakat lainnya di nusantara, gunung adalah dunia arwah para leluhur yang punya kekuatan magis, yang dapat memberikan pengaruh baik-buruk kepada kaum kerabat atau masyarakat yang masih hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika pengaruh agama Hindu telah meluas di daerah Bali, gunung juga dianggap sebagai tempat bertahtanya para Dewa, yaitu Dewa Gunung seperti Bhatara Gunung Agung, dll.
Demikianlah gunung menjadi suci dan sakral. Dengan berpedoman kepada konsepsi kosmologi itu, pendiri Taman Ujung telah berupaya untuk menyatukan dan memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang terkonsentrasi di gunung — kekuatan alam adikodrati, magis arwah leluhur, dan para Dewa — untuk kepentingan pembangunan masyarakatnya. Dengan dasar ideologi ini, maka Taman Ujung dapat juga disebut sebagai ”Water Palace” yang menyandang makna simbolis-magis-religius seperti yang tampak juga pada lambang kerajaan, yaitu Amerta Jiwa. Dari sisi lain, taman ini menjadi lebih signifikan lagi karena berada dalam bingkai segitiga sosiokultural — Tirta Gangga, Puri Karangasem, dan Taman Ujung.
Tidak mengherankan apabila dalam Perwujudan dari Pemilihan Lokasi, Penataan Lay Out, Penerapan dalam Arsitektur Bangunan dan Penggunaan Ornamen di Taman Ujung dijiwai oleh makna simbolisasi dan Nilai-Nilai Ritual Spiritual seorang Raja yang dilandasi oleh Agama Hindhu. Dan hal yang mendukung saat itu juga muncul hasil karya berupa Geguritan, Sinom dan Tembang-lagu yang mengambil sosok dari keagungan Arsitektur Taman Ujung.