PENINGGALAN WARISAN NENEK MOYANG DI DESA ADAT BENA - FLORES


Desa Bena terletak di sebelah selatan kota Bajawa kabupaten Ngada - Flores. Desa yang berada di dekat gunung Inerie dan dilingkari oleh pegunungan-pegunungan disekitar nya, satu-satunya kampung yang berada disana. Untuk menuju ke kampung ini kami harus menmpuh jalan meliuk-liuk keatas gunung, di suguhkan pemandangan yang indah bagaikan lukisan.


Ada 9 suku di desa Bena ini, awal nya malah hanya satu suku saja, suku Ngada adalah suku asli desa ini, sampai akhirnya terjadi perkawinan dengan suku lain hingga kini terdapat 9 suku di desa ini. Saya (dengan bangga) ditemani salah satu kepala suku untuk berkeliling kampung Bena dan mendengarkan penjelasan beliau tentang sejarah kampung Bena. Hanya ada sekitar 20 an rumah berbaris membentuk letter U. Mengelilingi halaman besar yang berisikan kuburan-kuburan, baik yang umur nya sudah tua maupun yang baru, terdapat juga kubuh-kubuh berukir yang dipakai untuk acara pesta adat.


Uniknya desa Bena ini yaitu mereka masih menjaga turunan leluhur nya, yang terlihat dari bangunan Megalitik berupa susunan batu-batuan ceper disusun secara vertikal, beliau menjelaskan itu adalah kuburan leluhur mereka yang sudah berumur ribuan tahun, sampai keadaan rumah-rumah nya masih unik, terbuat dari alang-alang, kayu dan bambu. Pak kepala suku menceritakan tentang arti-arti pahatan-pahatan kayu yang terukir di seluruh bangunan desa Bena, payung sebagai simbol laki-laki, dan rumah sebagai simbol perempuan. Di beberapa atap rumah terlihat hiasan  boneka yang memegang anak panah yang merupakan simbol bahwa rumah tersebut adalah milik dari keluarga garis laki - laki penduduk asli kampung ini, yaitu Suku Ngada. Sedangkan rumah yang dihiasi rumah - rumahan kecil di atas atapnya, merupakan simbol bahwa rumah tersebut milik dari keluarga garis perempuan suku asli. 



Penduduk desa yang sangat kecil ini hidup dalam kerukunan dan kekeluargaan. Penduduk perempuan membuat kain kain tenun dengan tangan di depan rumah masing-masing dan digantung2 di depan rumah - rumah, berharap turis membeli nya, kain-kain ini tidak mahal, kain yang kecil untuk syal hanya 50 ribu rupiah, dan mereka tidak berteriak-teriak memanggil-manggil pembeli seperti yang biasa terjadi di Bali, sehingga turis merasa terganggu, jika di beli sukuurrr kalo ngga juga ngga apa2, begitu kayaknya motto nya. Walaupun penduduk masih mempercayai roh leluhur nya mereka mulai mempelajari agama Katholik yang di pimpin oleh seorang pendeta yang datang dari Bajawa beberapa waktu sekali.




Sang bapak kepala suku mengatakan betapa sedih nya membayangkan bahwa desa Bena mungkin tidak akan bertahan lama mengingat generasi baru kampung tersebut mulai tidak perduli lagi dengan adat istiadat Bena, generasi baru sudah sekolah di luar dan tidak mau tinggal di kampung Bena. Sungguh tragis rasanya jika desa Bena benar2 akan hilang.. Pak kepala suku bertanya dimana saya tinggal, ketika saya bilang Angola beliau mengambil Globe dari plastik yang digantung di depan rumah pos paling ujung desa, beliau ingin saya menunjuk di bola tsb dimana letak Angola. Beliau pun menuliskan alamat lengkap untuk saya kirim kartu pos dari Angola. 

Sumber : http://yullysebayang-travel.blogspot.com