SEJARAH KOTA BANTEN


Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten pada abad ke 5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidanghiyang atau prasasti Lebak, yang ditemukan di kampung lebak di tepi Ci Danghiyang, Kecamatan Munjul, Pandeglang, Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman. Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara akibat serangan kerajaan Sriwijaya, kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Seperti dinyatakan oleh Tome Pires, penjelajah Portugis pada tahun 1513, Banten menjadi salah satu pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut, Banten adalah salah satu pelabuhan kerajaan itu selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Cimanuk.

Ketika sudah menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros, Banten merupakan pelabuhan besar di Asia Tenggara, sejajar dengan Malaka dan Makassar. Kota Banten terletak di pertengahan pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga mil. Kota itu panjangnya 850 depa. Di tepi laut kota itu panjangnya 400 depa; masuk ke dalam ia lebih panjang. Melalui tengah-tengah kota ada sebuah sungai yang jernih, di mana kapal jenis jung dan gale dapat berlayar masuk. Sepanjang pinggiran kota ada sebuah anak sungai, di sungai yang tidak seberapa lebar itu hanya perahu-perahu kecil saja yang dapat berlayar masuk. Pada sebuah pinggiran kota itu ada sebuah benteng yang dindingnya terbuat dari bata dan lebarnya tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanannya terbuat dari kayu, terdiri dari dua tingkat, dan dipersenjatai dengan senjata yang baik. Di tengah kota terdapat alun-alun yang digunakan untuk kepentingan kegiatan ketentaraan dan kesenian rakyat dan sebagai pasar di pagi hari. Istana raja terletak di bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat bangunan datar yang ditinggikan dan beratap, disebut Srimanganti, yang digunakan sebagai tempat raja bertatap muka dengan rakyatnya. Di sebelah barat alun-alun didirikan sebuah mesjid agung.

Pada awal abad ke-17 Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan dan kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonmian masyarakat. Daerah kekuasaannya mencakup juga wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di Banten dan disusul oleh orang Belanda.

Selain itu, orang-orang Perancis dan Denmark pun pernah datang di Banten. Dalam persaingan antara pedagang Eropa ini, Belanda muncul sebagai pemenang. Orang Portugis melarikan diri dari Banten (1601), setelah armada mereka dihancurkan oleh armada Belanda di perairan Banten. Orang Inggris pun tersingkirkan dari Batavia (1619) dan Banten (1684) akibat tindakan orang Belanda.

Budaya dan nilai -nilai adat :

Mayoritas penduduk Provinsi Banten memiliki semangat religius ke-Islaman yang kuat dengan tingkat toleransi yang tinggi, Sebagian besar anggota masyarakat memeluk agama Islam, tetapi pemeluk agama lain dapat hidup berdampingan dengan damai.

Potensi dan kekhasan budaya masyarakat Banten, antara lain seni bela diri pencak silat, debus, rudad, umbruk, tari saman, tari topeng, tari cokek, dog-dog, palingtung dan lojor. Disamping itu juga terdapat peninggalan warisan leluhur antara lain Masjid Agung Banten Lama, Makam Keramat Panjang, dan masih banyak peninggalan lainnya.

Di Provinsi Banten terdapat suku masyarakat Baduy. Suku Baduy merupakan suku asli Sunda Banten yang masih terjaga tradisi anti modernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Suku Baduy-Rawayan tinggal dikawasan Cagar Budaya Pegunungan Kendeng seluas 5.101,85 Ha di daerah Kenekes, kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran sungai Ciujung di pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak, tidak boleh diakui sebagai hak milik penellitiannya.

Bahasa :

Penduduk asli yang hidup di provinsi Banten berbicara menggunakan dialek yang merupakan turunan dari bahasa Sunda Kuno. Dialek tersebut diklasifikasikan sebagai bahasa kasar dalam bahasa Sunda modern, yang memiliki beberapa tingkatan dari tingkat halus sampai tingkat kasar (informal), yang tercipta pertama kalinya pada masa kesultanan Mataram menguasai Priangan (bagian tenggara provinsi Jawa Barat). Namun demikian, di Serang dan Cilegon, bahasa Banyumasan (bahasa Jawa tingkatan kasar) digunakan oleh etnik pendatang dari Jawa. Dan, di bagian utara kota Tangerang, bahasa Indonesia dengan dialek Betawi juga digunakan oleh pendatang beretnis Betawi. Disamping bahasa Sunda, bahasa Jawa dan dialek Betawi, bahasa Indonesia juga digunakan terutama oleh pendatang dari bagian lain Indonesia.

Terdapat beberapa kota penting lain di Banten selain yang berstatus tidak sebagai kota otonom:
  1. Anyer
  2. Balaraja
  3. Bojonegara
  4. Ciputat
  5. Karawaci
  6. Labuan
  7. Serpong
Sumber : http://cabulcity.wordpress.com