SUKU ARU - MALUKU


Membicarakan suku-suku di Indonesia sudah seperti mengeringkan air laut menggunakan cawan, tidak ada habis-habisnya. Seperti halnya air di lautan, Indonesia pun terdiri dari puluhan bahkan ratusan suku yang tersebar di kepulauan Indonesia. Setiap dari mereka memiliki ciri dan keunikan maupun tradisi tersendiri, dari keunikan dan keberagaman inilah Indonesia menjadi begitu kaya akan bahasa daerah dan kebudayaan, tidak heran jika Indonesia terkenal dimata dunia karena ragam kultur dan budayanya.

Salah satu suku di Indonesia yang tidak kalah menarik untuk dibahas adalah suku Aru yang mendiami kepulauan Aru di Maluku. Sejarah panjang orang aru dimulai dari Pulau Eno-Karang, dimana orang aru mulai tersebar keseluruh kawasan kepulauna Aru.  Secra social dan budaya Suku Aru termasuk rumpun Melanesia pasific dan terdiri daari 16 suku asli orang Aru dan berbagai suku lainnya dari maluku, jawa, dan tionghoa. Oleh karena itu orang suku aru tidak berbeda jauh dengan orang-orang yang mendiami kepulauan seperti jawa, sumatra, kalimantan dan kepulauan lainnya yang umunnya juga merupakan rumpun Melanesia pasific. Orang Aru sendiri memiliki 14 bahasa lokal sebagai alat komunikasi mereka. Ragam bahasa lokal tersebut diantaranya, Barakai, Batuley, Doubel Language, Karey, Koba, Kompane, Lola, Larong, Manombai, Mariri Language, East Tarangan, West Tarangan, dan Ujir.

Secara geomorphology dan ecology letak kepulauan Aru sangat menguntungkan, kepulauan Aru terletak di lempeng sahul berdampingan dengan pulau Papua dan benua Australia, terdiri dari 5 pulau besar meliputi, pulau Kola, Pulau Wokam, pulau Kobror, pulau Maekor dan pulau Trangan. Serat dikelilingi 182 pulau kecil dan sangat kecil, dengan total luas 8.563 km².

Selain itu, keragamaman suku dan bahasa Aru asli searta kekayaan Sumber Daya Alam telah membuat kepulauan Aru begitu istimewa dibandingkan kepulauan yang ada di Maluku lainnya. Tercatat pada tahun 1600-an  bangsa Tionghoa menginjakan kaki di kepulauan Aru untuk berniaga.  kemudian bergabung dengan orang Aru asli dan membentuk komunitas masyarakat Aru modern, diketahui terjadi perpaduan yang baik dalam tatanan kehidupan sosial budaya, agama, ekonomi, dan pendidikan antara orang Aru asli dengan masyarakat pendatang. Selain itu kekayaan sumber daya alam di kepulauan Aru juga mengundang negara-negara lain untuk menguasainya, terbukti bangsa Belanda satang ke kepulauan Aru pada tahun 1623, disusul bangsa Inggis pada tahun 1857. Diketahui, Alfred R. Wallace seorang penjelajah dan peneliti berkebangsaan Inggris juga singgah di Dobo, yang pada akhirnya mendapatkan “tanah yang dijanjikan” di kepulauan Aru, dengan tulisan yang berjudul “The Malay Archipelago”, yang diterbitkan Oxford Universitas, tahun 1986.

Dan pada tahun 1968 pemerintah Indonesia mulai memberi perhatian lewat sentralisasi pembangunan pada era orde baru hingga tahun 1998, tercatat mulai berakhirnya era orde baru perbaikan dan pembangunan kepulauan Aru tetap dilanjutkan pada era revormasi tahun 1998 hingga saat ini. Dan pada tahun 2003 mulai dengan pembentukan kabupaten kepulauan Aru, sebagai wujud otonomi daerah dan disentralisasi daerah. Maka dengan demikian kepulauan Aru dapat mengembangkan Sumber Daya Alam.

Meskipun sejarah mencatat kepulauan Aru begitu mengesankan, sangat disadari bahwa perpaduan yang terjadi antara orang Aru asli dan para pendatang yang memang menetap di kepulauan Aru, telah menghadirkan kesalahan-kesalahan kompleks yang berdampak pada tertinggalnya Orang Aru, orang-arang Aru hanya terkesan berjalan di tempat tanpa mengalami perubahan yang signifikan. Namun demikian juga harus kita akui bahwa perpaduan ini juga membawa dampak positif bagi kebaikan bersama, misalnya saja perkembangan agama, pendidikan, serta budaya telah terjadi perpaduan budaya dengan adanya perkawinan antara orang Aru dan pendatang misalnya.